ILMU AL- JARH WA TA’DIL: PENGERETIAN, OBJEK DAN LAFAZ LAFAZ SERTA MARATIB AL- JARH WA TA’DIL
ILMU
AL- JARH WA TA’DIL: PENGERETIAN, OBJEK
DAN LAFAZ LAFAZ SERTA MARATIB AL-
JARH WA TA’DIL
Nama : Zul'Afni
Batubara
Jurusan : Pendidikan Agama
Islam
Motto : Usaha Tidak Akan
Menghiyanati Hasil
E_mail : zulafni_24
Hobby : Olahraga
A. PENDAHULUAN
Jarh wa al-Ta’dil merupakan salah satu cabang ilmu
hadis. Ilmu ini sangat penting dalam kajian hadis. Karena dengannya seseorang
dapat mengetahui periwayatan yang diterima. Jarh wa Ta’dil adalah salah satu
metode yang digunakan oleh ulama hadis dalam meneliti rawi. Metod tersebut
yakni mengomentari perawi apakah ia termasuk kategori rawi yang ail dan dabit
atau tidak. Munculnya ilmu ini seiring dengan [penyebaran hadis hingga keluar
kawasan arab.
Dampak negatif dari penyebaran
ini adalah banyaknsekali informasi atau kabar yang mengatasnamakan hadis dari
nabi muhammada saw. Hal ini juga menyebabkan munculnya hadis-hadis da’if di
tengah masyarakat . akan tetapi persoalan yang muncul adalah tidak semua
kritikus sama dalam menilai perawwi hadis. Banyak sekai terjadi perbedaan
pendapat para ulama dalam mengkritik perawi.
Salah satu kritikus yang dikenal
mutashaddid adalah yahya ibn Ma’in. Berbeda dengan yahya ibn ma’in, al-Turmudhi
dinilai oleh ulama sebagai kritikus yang mustasahil atau longgar dalam menilai
rawi. Salah satu contoh perbesdaaan kedua tokoh tesebut adalah ketika membahasbiografi
kasir ibn ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Awf alMuzanni.
B. PENGERTIAN AL-JARH WA TA’DIL
Jarh adalah memberi sifat dengan
sesuatu yang mengakibatkan kelemahan dan penangguhan atas apa yang diriwayatkan
perawi kepada kita dan menolak atau melemahkan semua yang berasal dari perawi
tersebut. Menjarh perawi itu maksudnya memberi sifat perawi pada keadilan atau
kedhabitannya dengan sesuatu yang mungkin menyebabkan hal-hal berikut ini : Pertama,
Perawinya Lemah, maka hadisnya ditolak kecuali jika didukung oleh sumber lain
yang lebih kredibel. Kedua, Perawinya Dhaif, maka hadisnya tidak
diterima akan tetapi bisa. Oleh kaena itu
Jarh wa
Ta’dil adalah suatu upaya
kreatif ulama muhadisin di dalam memilah, memilih dan meneliti serta mengkaji
kualitas para perawi yang menyampaikan sebuah hadis. Kegiatan Ta’dil dan Tajrih ini
membutuhkan energi yang luar biasa karena proses verifikasi data dari orang
perorang membutuhkan informasi yang menyeluruh dan akurat. Menjadi persoalan
menarik bahwa ilmu ini adalah metodologi kritik yang orisinil dan genuine yang dilahirkan dari sejarah keilmuan Islam
sekaligus di sisi lain banyak keberatan dan penolakan dari sebagian orang yang
menganggap kegiatan kritik perawi ini adalah termasuk perbuatan ghibah.[1]
Adapun
metode kajian yang digunakan dalam penelitian tentang ilmu Jarh Wa Ta’dil ini adalah sebagai berikut:
1.
Pendekatan
2.
Metode
analisis data
3.
Sumber data
Adapun menurut
Al-abb lowes ma’luf al-jarh adalah melukai bagian badan yamg memungkinkan darah
dapat mengalir. Selain itu juga berarti menolak.[2]
Dari segi bahasa, jarh terambil
dari kata dasar ja-ra-ha,
artinya melukai. Sedang menurut pengertian ahli hadits, jarh artinya
mencela atau mengkritik perawi hadits dengan ungkapan-ungkapan yang
menghilangkan keadilan ataupun kedhabitannya. Sebaliknya, ta’dil menurut
para ulama hadits adalah memuji perawi (tazkiyah al-rawi) dan
menetapkannya sebagai seorang yang adil dan dhabit.
Apa yang dimaksud dengan adil di
sini tentu bukan adil dalam konteks hukum dan kriminal seperti yang ada
dalam literatur bahasa Indonesia sekarang ini, tetapi lebih merupakan
penggambaran atas kualitas moral, spiritual, dan relegiusitas seorang perawi.
1. MENURUT BAHASA
Sedangkan istilah dhabit sendiri
merupakan gambaran atas kapasitas intelektual sang perawi yang benar-benar
prima. Kedua ilmu ini (Ilmu Tarikh al-Ruwah dan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil)
memang memiliki obyek material kajian yang sama, namun obyek formalnya berbeda.
Obyek material keduanya adalah orang-orang
yang dulu terlibat dalam periwayatan hadis pada abad ke-1 hingga abad ke-4
Hijriyah, jadi mereka sudah wafat ratusan tahun yang lalu. Namun obyek fomal
keduanya berbeda.[3]
C.
OBYEKTIFASI KONSEP JARH
Pembahasan
mereka terhadap keadaan para rawi semata-mata bersifat ilmiyah dan obyektifitas
Prinsip mereka adalah :
l. Melaksanakan
amanat dan menjaga kesucian hukum. Mereka
menerangkan, sifat-sifat rawi sesuai dengan apa adanya. Kalau mereka memuji
seorang perawi karena memang rawi itu memiliki sifat terpuji, dan kalau mencela
rawi, karena rawi itu memiliki sifat-sifat tercela.
2. Ketelitian Pembahasan dan Hukum. Dari berbagai pendapat Ulama, kita mengetahui sikap dan ketelitian
mereka dalammenerangkan data-data rawi.
Tujuannya tiada lain agar dapat dicapai
suatu ketelitian ilmiah dan hukum.
3. Konsekwen dengan adab dalamjarh. Ketegasan mereka dalam jarh bukan dimaksudkan sebagai sikap permusuhan,
akan tetapi dimaksudkan demi kepentingan ilmiah semata.
4. Meringkas
ta 'dil dan memperinci jarh. Rawi
yang adil cukup dijelaskan dengan kata singkat tanoa penjelasan terperinci,
sebab sifat adil itu terlalu banyak.[4]
a. Obyektifasi
konsep jarh wa al-ta’dil Yahya ibn Ma‘in
Yahya tetap memegang teguh ideologi salaf al-s}a>lih (sunni)
adalah beberapaketerangan bahwa Yah}ya sering kali mengungkapkan paham ahli
hadis (tidak mengikuti paham mu’tazilah). Ia meneguhkan posisinya sebagai ahli
hadis yang mengikuti pendapat salaf al-salih. Yahya ibn Ma’in tetap berpegang
teguh pada posisi dirinya untuk mempertahankan hadis. Perkembangan keilmuan
saat itu memang lebih banyak terfokus pada kajian-kajian rasional. Namun, ia tetap
berpegang teguh pada manhaj al-salaf wa al-sunnah. Artinya,ia meneguhkan posisinya
sebagai penyelamat hadis dari berbagai gempuran
keilmuan dan kebencian terhadap periwayatan hadis. Namun, perjumpaannya dengan
ulama Kuffah dan Basrah yang lebih condong kepada al-ra‘y memberikan pengaruh
kepada sikapnya dalam menilai rawi. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa
karateristik paham ahli Kuffah dan Basrah adalah ketat dalam menilai periwayatan
hadis. Alasannya adalah karena penyebaran hadis-hadis palsu di daerah tersebut,
terlebih ketika menyebarnya kelompok khawarij dan syi’ah. Kedua kelompok ini
sering memalsukan hadis dan menjadikannya sebagai alat politik.Berawal dari
itu, sikap tashaddud Yahya nampak jelas karena membendung arus kelompokkelompok
pemalsu hadis serta berada di lingkungan ulama yang ketat dalam menerima
periwayatan hadis.
b.
Obyektifasi konsep jarh wa al-ta’dil al-Turmudhi
Berbeda dengan Yahya ibn
Ma’in, proses pemahaman al-Turmuzi terhadap kebijakan pemerintah sangat jauh
berbeda. Hal ini dimulai ketika khalifah al-Mutawakkil merubah ideologi
mu’tazilah menjadi condong kepada sunni.Bahkan al-Mutawakkil menyuruh
muhaddithin untuk memperbanyak hadis. Hal ini mempengaruhi pola pikir
al-Turmudhi yang pada akhirnya cenderung longgar (tasahul) atau moderat (ta’adul)
dalam menerima periwayatan. Banyak sekali riwayat hadis yang dicantumkan di
kitabnya al-Jami dengan menggunakan jalur sanad yang berbeda dengan tokoh
sebelumnya. Meskipun, metode yang digunakan juga atas dasar ‘ulum al-hadith pada
saat itu. Salah satu metodenya adalah bahwa apabila ada hadis yang da’if, maka
jalur sanadnya sudah dikuatkan dengan hadis yang lain. Perkembangan hadis, jarh
wa al-ta’dil dan fiqih pada saat itu juga mempengaruhi pemikiran al-Turmudhi
dalam menilai rawi. Hal itu dikarenakan banyaknya ahli hadis dan fiqih yang
tersebar sebelum al-Turmudhi melakukan obyektifasi. Oleh karenanya, ia
mengatakan dalam kitab al-jami’-nya bahwa; “ Aku tidak memasukkan ke dalam kitab
ini melainkan hadis yang sekurang-kurangnya telah diamalkan oleh sebagian fuqaha‘.”
Hal itu membuktikan bahwa pengaruh ahli fiqih kepada al-Turmudhi sangat besar.
Jadi, hadis-hadis yang da’if pun dicantumkan oleh al-Turmudhi, namun tetap
dengan penjelasan mengenai status hadis dan jalur sanadnya. Beberapa bukti
tersebut menunjukkan bahwa al-Turmudhimerupakan ahli fiqih dan sekaligus ahli
hadis. Dikatakan ahli fiqih karena lewat kitab al-ja>mi>’-nya
mencantumkan hadis-hadis yang biasa dipakai oleh ahlif fiqih dalam menentukan
hukum. Abu al- Hasan ‘Ali al-Husaini al-Nadwi mengatakan sebagaimana dikutip
oleh Ayyad bahwa al-Turmudhi merupakan tokoh pertama yang menggunakan metode
fiqih komparasi (al-fiqh al-muqarin).Di sisi lain, al-Turmudhi juga bertindak
sebagai komentator hadis dengan cara menjelaskan kekurangan hadis tersebut jika
dipandang dengan kacamata muhaddithin. Proses obyektifasi yang sangat besar
yang dilakukan oleh al- Turmudhi dalam bidang ilmu hadis adalah dengan
mencetuskan istilah hadis h}asan. Dalam kitabnya, ia memberikan definisi
mengenaihadis hasan.[5]
Di antara unsur terpenting dalam al-jarh wa al-ta‘dil adalah standar dan istilah-istilah
khusus yang digunakan oleh pakar aljarh wa al-ta‘dil dalam menilai perawi. Di antara unsur terpenting dalam al-jarh wa al-ta‘dil adalah standar dan istilah-istilah
khusus yang digunakan oleh pakar aljarh
wa
al-ta‘dil dalam
menilai perawi. Di antara unsur terpenting dalam al-jarh wa al-ta‘di. Dua unsur utama al-jarh wa al-ta‘dil ini tidak terlepas dari kritikan
Juynboll dalam bukunya Muslim
Tradition: Studies in Chronology, Provenance, and Authorship of Early Hadith.[6]
D. LAFAZ-LAFAZ
JARH WA TA’DIL
A.
Berikut
adalah lafaz ta’dil ibnu yahya
ثبت, ثقة مأمون, ثقة ليس به س,
ثقة لم _ س, ثقة ليس به _ يذكره الا بخير, لم يذذكره الا بخير, صدوق, رجل صدق, شيخ صدوق, ثقة ليس بحجة, لقوي ولكن يكتب, * ليس صدوق
ليس بحجة, ليس لقوي, ليس بحجة, لم يقو *أمر, ليس يحتج بحديثه, شيخ, صالح الحديث, شيخ ليس به س,
فى حديثه ضعف, ثقة _ يحدث بمناكر, ليس حديثه بذاك, ليس له فيه كبير رأي, ضعيف
Lafaz jarh
ضعيف, ذاهب الحديث, ضعيف ذاهب
الحديث عند أصحابنا, ضعيف في الحديث جدا, كثير الغرائب والمناكير, منكر الحديث, يروي مناكير, له أحاديث مناكير عن أنس بن مالك وغيره, ضعيف عند أهل الحديث, ليس عند
أهل الحديث بذاك القوي, ليس عندهم بذاك القوي, ليس عند أصحاب الحديث بذاك لقوي
في الحديث, * القوي, ليس لحافظ عند أهل الحديث, * ليس ضعيف
في الحديث, يضعف في الحديث, يضعف بسوء الحفظ, بكثرة الغلط, ليس عندهم لحافظ, ليس عند أهل الحديث * لحافظ, * بذلك الحافظ, ليس مجهول, لانعرفه, لايعرف, ليس بمعروف الحديث.[7]
Ilmu al-jarh wa
ta‘dīl menyingkap sifat-sifat yang melekat pada para perawi hadis sebagai
pra-syarat menentukan diterima atau ditolaknya sebuah hadis. Artinya
spesifikasi ilmu ini mengkritisi para perawi hadis dengan pendekatan
karakteristik yang berhubungan dengan ke-adilan (ketaatan bergamanya)
dan ke-dhabitan (kekuatan hafalanya) seorang perawi hadis Nabi. Ulama
berbeda dalam metode menetapkan kualifikasi para perawi hadis, juga berbeda
dalam lafazh-lafazh setiap tingkatan al-jarh wa ta‘dīl. Ulama ini
terbagi kepada tiga golongan; golongan keras, moderat dan lunak mereka
masing-masing kelompok ini, berusaha menilai para perawi hadis dengan perhatian
yang sangat hati-hati tangungjawab karena Allah semata.[8]
B.
MARATIB
JARH WA TA’DIL
ulama hadith terhadap kesemua perawi yang meriwayatkan
sesuatu hadith yang memberi kesan besar dalam menghukumkan sesuatu hadith itu
sama ada sahih ataupun sebaliknya.[9]
Berikut penjelasan maratib ta’dil di kalangan Ulama hadis:
a. Martabat-Martabat Ta’dil Menurut al-Razi
Para ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para
rawi. Mereka berupaya keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya.
Tulisan yang pertama kali sampai kepada kita (Nuruddin ‘Itr, hlm. 99), adalah
karya tokoh kritikus al-Imam bin al-Imam Abdurrahman bin Abi Hatim al-Razi (w.
327 H), dalam kitabnya yang besar al-Jarh wa ‘al-Ta’dil. Ia telahmenyusun martabat al-Jarh
wa al-Ta’dil
masing-masing terdiri atas empat
martabat, di antaranya sebagai berikut:
b. Martabat-Martabat Ta’dil Menurut al-Suyuthi
Adapun mengenai martabat ta’dil Imam Suyuthi membaginya atas 6 tingkatan. Hal ini
sebagaimana dalam al-Fiyahnya yang dikutip oleh Muhammad Mahfuzh
al-Tarmasi dalam kitabnya Manhaj Dzawin Nazhar. Jika pendapat al-Suyuthi
di atas diperinci dan kemudian digabungkan pula dengan pendaat ulama lainnya
dalam menilai martabat ta’dil,
maka martabat itu akan tersusun sebagai
berikut:
1.Setiap
lafal yang menunjukkan keadilan dan keteguhan rawi, di sini muhadditsin
menggunakan shighat
af’al tafdhil atau
dengan mempergunakan shighat yang menunjukkan sifat terpuji yang tiada
bandingannya bagi rawi itu. Lafal ta’dil ini merupakan shighat yang
paling tinggi nilainya, kuat dan kokoh kedudukannya dan istimewa pula
martabatnya. Karena itu, rawi yang mendapat julukan ini adalah rawi yang paling
adil, sangat jujut, dan sangat teguh.
2.
Setiap lafal yang menunjukkan kebenaran rawi, keteguhan, ketsiqatan, kejujuran
dan keadilannya; ini dengan mempergunakan lafal yang sama dengan yang
sebelumnya atau dengan mempergunakan kata lain yang semaksud dan semakna dengan
makna yang pertama. Dengan pengulangan lafal yang makin sering dan makin banyak
akan menunjukkan martabat rawi itu lebih kuat dan lebih tinggi nilainya, bila
dibandingkan dengan penilaian yang tidak diulang lafalnya. Contoh: ثِقَّةُ ثِقَّةُ, ثِقَّةُ, حَافِظُ ثِقَّة
3.
Setiap lafal yang menunjukkan kekokohan, keteguhan, keadilan dan kepercayaan
rawi. Adakalanya pula mempergunakan kata-kata pejian yang senilai dengan
kekokohan di atas. Lafal tersebut ialah: Tsiqatun, Muttaqinun, Imaamun,
Tsaabitu al-Qalbi wa al-Lisaan wa al-Hujjati, Haafizhun Dhaabitun.
4.
Setiap lafal yang menunjukkan kepada derajat rawi dengan mempergunakan satu
lafal saja, baik lafal yang menunjukkan keadilan, kekokohan dan kebenaran rawi.
Akan tetapi diberi jaminan bahwa rawi tersebut, kekokohan, keteguhan dan
keadilannya itu sekokoh pada tingkatan sebelumnya. Lafal tersebut ialah: Shaduuqun, Laa Ba’sa Bihi,
Khiyaar an-Naas Ma’muunun Laisa Bihi
Ba’sun, Khiyaar
al-Khalq.
5.
Setiap lafal yang menunjukkan baik, benar dan jujurnyarawi. Dengan tidak
menunjukkan bahwa hafalan, kejujuran dan keadilannya itu dapat dipastikan.
Lafal-lafal tersebut ialah: Shalih al-Hadis, Wasath, Yuktabu Hadiitsuhu,
Jayyid al-Hadis, Syaikh, Muqaarab al-Hadis.
6.
Setiap lafal yang menunjukkan derajat rawi, dengan mempergunakan suatu lafal
dengan lafal tersebut di atas kemudian diiringi kata-kta yang tidak menunjukkan
keteguhan lafal-lafal itu. Malahan hanya merupakan pengharap saja dari
kejujuran dan keteguhan rawi itu. Lafal tersebut ialah: Shaduq Insya Allah,
Laisa bi Ba’idin
min al-Shawab,
Shuwailah,Maqbul.
Imam
al-Suyuthi tidak memasukkan martabat sahabat ke dalam martabat ta’dil ini, akan tetapi memasukkan af’al tafdhil sebgai gantinya. Kemungkinan besar
alasan utama beliau tidak memasukkan sahabat kepada martabat ta’dil karena sahabat tidak perlu
diperbincangkan kejujurannya.
c. Martabat-Martabat Ta’dil Menurut al-Dzahaby
Al-Dzahaby
menjelaskan dalam pendahuluan kitab Mizan al-I’tidaal-nya:
1.
Tingkatan rawi yangditerima hadisnya yang paling tinggi adalah mereka yang
mendapat julukan TsabtunHujjatun, Tsabatun Hafizhun, Tsiqatun, Mutqinun,
atau Tsiqatun tsiqat;
2.
Kemudian yang diberi julukan Tsiqatun;
3.
Kemuian yang diberi julukan Shaduq, Laa Ba’sa Bih, dan Laisa bihi Basun;
4.
Kemudian yang diberi julukan Mahalluhu ash-Shidq, Jayyid al-Hadis, Shalih
al-Hadis, Syaikh Wasath, Syaikh Hasan al-Hadis, Shaduq Insya Allah, Shuwailih, dan
sebagainya.
Dengan demikian, al-Dzhaby menambahkan satu tingkat lagi
yang lebih tinggi daripada tingkatan pertama menurut Ibnu Abi Hatim, dan ia
menjadikan tingkatan ketiga dan tingkatan keempat menjadi satu tingkatan.
d. Martabat-Martabat Ta’dil Menurut Ibnu Hajar
Adapun
tingkatan ta’dil
menurut Ibnu Hajar, sebagai berikut:
1.Segala
sesuatu yang menggunakan martabat keadilan yang lebih tinggi. Hal ini biasanya
dengan menggunakan af’al
al-mubalaghah.
2.
Memperkuat ke-tsiqat-an rawi dengan mengulang-ulang lafal yang sama atau
semakna dengannya. Seperti lafal Tsiqatun tsiqatun (orang yang tsiqat
(lagi) tsiqat).
3.
Menunjuk keadilan dengan lafal yang mengandung arti kuat ingatan. Seperti lafal
tsabata (orang yang teguh hati dan lidahnya).
4.
Menunjuk ke-tsiqat-an tetapi dengan lafal yang tidak mengandung arti tsiqat.
Contoh : Shaduqun (orang yang sangat jujur).
5.
Menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak terpahamkan adanya ke-dhabit-an.
Contoh: Jayyid al-Hadis (orang yang baik hadisnya).
6.
Menunjuk arti mendekati cacat, biasanya dengan menambahkan lafal Insya Allah,
atau dengan men-tashgir-kan, atau dengan mengaitkannya pada suatu
pengharapan.[10]
DAFTAR
PUSTAKA
AFIF, DJALIL, ‘AL-JARH
WA AL-TA’DIL’, AL-Qalam, Vol. X NO. (1995), 25
Asfiyak, Khoirul, ‘JARH WA TA’DIL : SEBUAH PEMODELAN TEORI KRITIK PERIWAYATAN HADIS NABAWI’, Jurnal Ilmiah
Ahwal Syakhshiyyah, Vol 1 No. (2019), 13
Dan, Metode Jarh} wa al-Ta’di>l Kelompok Mutashaddid,
Mutasa>hil, (Telaah Pemikiran Yah}ya> ibn Ma‘i>n dan Al-Turmudhi>,
and Perspektif Sosiologi Pengetahuan), ‘No’, Diya> Al-Afka>r, Vol.
6, No (2018), 194
Faruq, Ahmad Irsyad Al, ‘Metode Jarh} Wa Al-Ta’di>l
Kelompok Mutashaddid Dan Mutasahil’, Diya Al-Afkar, Vol. 6, No (2018),
186
Imron, Ali, ‘Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’diDIl’, Ddsar Ilmujarh
Wa Ta’dil, Vol. 2, No (2017), 290
Muna, Arif Chasanul, ‘Kritik Pandangan G.H.A. Juynboll
Terhadap Ilmu Al-Jarh{ Wa Al-Ta’dil’, Vol. 14, N (2016), 17
Rizal, Mohd Ikhwan Zolkapli & Mohamad, ‘Metodologi
Penulisan Teks Hadith’, Jurnal Perspektif, Vol. 8. No (2016), hlm. 5
Siregar, Khairil Ikhsan, ‘Telaah Hadis Nabi Sebagai Pendidik
(Tinjauan Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta‘Dil)’, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 10,
N (2014), 58
SOHARI, ‘URGENSI ILMU RIJAL AL-HADlTS DALAM PERIWAYATAN’, Al-
Qalam, Vol. XIII (1997), 30
Zain, Mina Mudrikah, ‘PERBEDAAN MARATIB TA’DIL DI KALANGAN
ULAMA HADIS’, Jurnal Ilmu Hadis, 2, No (2017), 16–18
[1]Khoirul Asfiyak, ‘JARH WA TA’DIL : SEBUAH PEMODELAN TEORI KRITIK
PERIWAYATAN HADIS NABAWI’, Jurnal Ilmiah
Ahwal Syakhshiyyah, Vol 1 No.1 (2019), 13.
[3]Ali Imron, ‘Dasar-Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’diDIl’, Dasar Ilm ujarh Wa Ta’dil, Vol. 2, No.2 (2017),hlm. 290.
[4]SOHARI, ‘URGENSI ILMU RIJAL AL-HADlTS DALAM PERIWAYATAN’, Al- Qalam, Vol. XIII NO. 68,(1997) ,hlm.
30.
[5]Metode Jarh} wa al-Ta’dil Kelompok Mutashaddid Dan and others, ‘No’, Diya> Al-Afka>r, Vol. 6, No.1 2018,
hlm. 194.
[6]Arif Chasanul Muna, ‘Kritik Pandangan G.H.A. Juynboll Terhadap Ilmu
Al-Jarh{ Wa Al-Ta’dil’, Vol. 14, N.1 (2016), 17.
[7]Ahmad Irsyad Al Faruq, ‘Metode Jarh} Wa Al-Ta’di>l Kelompok Mutashaddid
Dan Mutasahil’, Diya Al-Afkar, Vol.
6, No.1 (2018), hlm.186.
[8]Khairil Ikhsan Siregar, ‘Telaah Hadis Nabi Sebagai Pendidik (Tinjauan Ilmu
Al-Jarh Wa Al-Ta‘Dil)’, Jurnal Studi
Al-Qur’an, Vol. 10, N. 1 (2014), 58.
[9]Mohd Ikhwan Zolkapli & Mohamad Rizal, ‘Metodologi Penulisan Teks
Hadith’, Jurnal Perspektif, Vol. 8.
No 1 (2016), hlm. 5.
[10]Mina Mudrikah Zain, ‘PERBEDAAN MARATIB TA’DIL DI KALANGAN ULAMA HADIS’, Jurnal Ilmu Hadis, 2, No.1 (2017), 16–18.
Komentar
Posting Komentar