hadist sebagaiSsumber ajaran agama, Dalil dalil kehujjaan hadist dan Fungsi hadist terhadap al-quran
ALQUR’AN HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN
AGAMA: DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADIS DAN FUNGSI HADIS TERHADAP
A. PENDAHULUAN
Sebagai umat yang telah menganut atau mempercayai agama
Islam sebagai agamanya pasti kita tidak asing lagi mendengar kata ini yaitu
Alqur’an dan Hadis. Segalailmu pengetahuan yang ada di dunia ini telah
terangkum dalam Alqur’an sebagai pedoman hidup umat muslim mulai sejak masa
nabi hingga sekaran. Segala permasalahan yang terjadi dikalangan hidup ummat
islam pasti diselesaikan para disiplin ilmu dengan menngkaji ayat-ayat
Alqur’an, akan tetapi dalam Alqur’an masih ada penjelasan yang belum sempurna
atau masih samar-samar oleh karena itu datanglah hadis sebagai sumber kedua untuk
memperjelas dan mempertegas ayat-ayat
Alqur’an sehingga masalah yang dihadapidapat terpecahkan lebih jelas dan
terperinci.
karena Sunnah Nabi
yang termuat dalam teks hadits banyak dijadikan rujukan utama dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an sebelum merujuk kepada kekuatan akal. Para mufassir
menggali ajaran-ajaran sunnah Nabi lebih dahulu untuk mengetahui makna dan
tujuan al-Qur’an, karena prilaku dan perkataan Nabi diyakini merupakan
penjelasan dan penjabaran paling valid, tepat dan kredibel terhadap ayat-ayat
al-Qur’an. Maksud al-Qur’an hanya dapat dipahami dengan bantuan sunnah (seperti
riwayat tentang asbabun nuzul). Sunnah
berdiri sebagai penjelas maksud al-Qur’an, penjamin makna alQur’an dan
pelengkap perintah-perintah yang ada dalam al-Qur’an, sehingga alQur’an tidak
bisa dipahami tanpa sunnah, Qur’an tidak bisa mandiri tanpa sunnah. Misalnya
al-Qur’an memberikan perintah-perintah umum, maka sunnah menjelaskan maksudnya
secara spesifik. Sunnah juga memberikan informasi tambahan yang mutlak diperlukan
dalam praktek peribadatan yang tidak ada dalam al-Qur’an. Karena itu muncul
anggapan bahwa, kebutuhan al-Qur’an terhadap sunnah lebih besar daripada
kebutuhan sunnah terhadap al-Qur’an
. Namun
pada masa modern saat ini,banyak tantangan yang dihadapi oleh sunnahatau hadis yaitu:
munculnya padangan bahwa, otoritas sunnah, baik berupa konsep, makna
maupun fungsi harus direkonstruksi. Tujuannya adalah agar sunnah Nabi tetap
hadir di tengah-tengah kita dan membawa
makna relevan dalam kemajuan peradaban dan fungsi signifikan dalam membawa
kemaslahatan manusia. Karena itu, fokus pembahasan makalah ini adalah menggugat
pengertian as-Sunnah yang diperluas dengan pembahasan tentang kedudukan
as-sunnah dalam hukum Islam serta daya jangkau sunnah terhadap tantangan kasus
kontemporer dalam masyarakat modern.[1]
B. HADIST SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA
Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya
menjadi pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa mendapat petunjuk Allah SWT). Dengan
demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari
Allah. Kalau al Quran merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang
isi maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah
petunjuk dari Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau
menyampaikannya kepada ummat dengan cara beliau sendiri.
Terjemahnya: “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.”.(QS. An-Nahl 44)
Terjemahnya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah.Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (QS.
Al Hasyr:7)
Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/hadits
merupakan penjelasan Al Quran. Sunnah itu diperintahkan oleh Allah untuk
dijadikan sumber hukum dalam Islam. Dengan
demikian, sunnah adalah menjelaskan al Quran, membatasi
kemutlakannya dan mentakwilkan kesamarannya. Allah menetapkan bahwa seorang
mukmin itu belum dapat dikategorikan beriman kepada Allah sebelum mereka
mengikuti segala yang diputuskan oleh Rasulullah SAW dan dengan putusannya itu
mereka merasa senang.
Iman asy-Syathibi menerangkan dalam karyanya al-Muwafaqat
bahwa sunnah dibawah derajat al-Quran dengan alasan :
1. As-Sunnah menjadi bayan (keterangan)
al Quran.
2. As-Sunnah menerangkan hukum-hukum yang
terdapat dalam al Quran, bukan al Quran menerangkan hukum sunnah.
3. As-Sunnah menguatkan kemutlakan al Quran,
mengkhususkan keumuman al Quran dan mengihtimalkan lahirnya al Quran.[2]
Bahwa Islam mendorong manusia untuk
berupaya dan bekerja keras guna memperoleh hasil kerja maksimal, hal ini sangat
jelas tertuang di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Kata “amal” (bekerja),
misalnya beserta kata-kata bentukan lainnya dari akar kata “’amila” yang
melukiskan keluasan dan kedalaman gagasan Islam tentang kerja muncul di dalam
Al-
Qur’an sekitar 602 kali dalam berbagai konteks yang bertalian
dengan manusia, keimanan,amal shaleh, kemaslahatan, hukum maupun
pertanggungjawaban di akhirat kelak.11Bahkan Al-Qur’an mengungkapkan gagasan
yang berdimensi vertikal atau transenden tentang kerja, karena menurut kitab
suci tersebut bekerja itu adalah ibadah. Bagi Al-Qur’an, ibadah bukanlah untuk
kepentingan Tuhan, tetapi justru untuk kepentingan manusia itu sendiri, kebajikan
yang dilakukan manusia adalah untuk dirinya sendiri, sedangkan kejahatan yang dilakukannya
akan merugikan dirinya sendiri[3]
Sebagaimana yang tercantum dalam surat al Zumar ayat
23.a. cerita
duniawi atau kejadian alam yang wajar, sebagaimana yang
tercantum dalam surat al An’am ayat 68.b.
cerita sejarah, sebagaimana yang tercantum dalam surat Taha ayat 9.c. rahasia, percakapan atau cerita yang masih
hangat,sebagaimana yang tercantum dalam surat al Tahrim ayat 3 (Azami, 1977:
1-2).
Dari ketiga makna yang telah
dikemukakan tadi, semuanya terangkum dalam pengertian cerita dan percakapan. Ignaz
Goldziher mengatakan bahwa hadits secara literal mempunyai makna lebih dari
satu, yaitu tale (kisah atau cerita), communication
(berita atau kabar), historical information (informasi sejarah), baik bersifat sekuler (duniawi)
maupun religious (keagamaan), baik berhubungan dengan peristiwa yang sudah
lampau maupun yang baru saja terjadi (Goldziher, 1971). Secara terminology,
hadits mempunyai makna segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa
perkataan, perbuatan, ketetapan serta sifat-sifat fisik dan suri tauladan Nabi
(Sabbaq, 1972: 14-17). Dalam pengertian yang semacam ini, hadits disinonimkan
dengan istilah sunnah. Berdasarkan definisi tersebut, bentuk-bentuk hadits
dapat dibedakan menjadi (a) sabda,
(b) perbuatan, (c) taqrir, (d) hal ihwal Nabi, yaitu
segala sifat dan keadaan beliau (al Siba’i, 1994: 53). Menurut Nuruddin ‘Itr,
definisi tersebut masih dirasa kurang sempurna, karena dalam kitab-kitab hadits
banyak dijumpai
perkataan-perkataan yang tidak bersumber dari Nabi,
melainkan dari sahabat dan tabi’in. Sehingga pengertian hadits secara
terminology, yang ideal adalah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi, berupa
ucapan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik atau etik, dan juga segala sesuatu
yang yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in (‘Itr, 1992: 9).[4]
C. DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADIS
Yang
dimaksud dengan kehujjahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang
wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan
Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Hadits
adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah
Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Hadits juga merupakan
sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber
hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapai juga murtad hukumnya.
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada
hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an juga untuk memudahkan
dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci
atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum
utama. Apabila hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin
akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara
shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab
ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan
umum. Dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain
itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat
yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan
sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan
apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan
rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat
subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.[5]
Para
ulama sepakat mengatakan bahwa sunnah rasul dalam bentuk fi-liyah,
qauliyah
dan tagrifiyah merupakan sumber asli dari sumber hukum syara dan menempati posisi
kedua sesudah al-Quran. Ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama usul fiqih untuk
mendukung hal tersebut antara lain :
1.
Al-Quran Surat Ali Imran 31 : "Apabila
mencintai Allah maka ikutilah aku, Allah akan mencintaimu".
2.
Surat Al Ahzab 21 : "Sesungguhnya pada dirt.
Rasulullah itu bagi kannt teladan yang baik vault bagi orang yang mengharapkan
Rahmat Allah dan kedatangan Hari Kiamat dan dia hanyak menyebut Allah ".
3.
Surat Al Hasyr 7 : "Apa yang diberikan Rasul
kepaclannt maka ambilah dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah”.[6]
a. Dalil al-Qur’an.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang
memerintahkan untuk patuh kepada Rasul dan mengikuti Sunnahnya. Perintah patuh
kepada Rasul berarti perintah mengikuti Sunnah sebagai hujjah, antara lain:
1). Konsekuensi iman
kepada Allah adalah taat kepada-Nya, sebagaimana
firman Allah s.w.t. surat Ali-Imran (3:179) :
ÇÊÐÒÈ ÒOÏàtã íô_r& öNä3n=sù (#qà)Gs?ur (#qãYÏB÷sè? bÎ)ur 4 ¾Ï&Î#ßâur «!$Î/ (#qãYÏB$t«sù….
Artinya :
“Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan
jika kamu
beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar”.
Beriman kepada Rasul berarti taat kepada apa yang
disampaikan kepada
umatnya baik al-Qur’an maupun Hadits yang dibawanya.
2). Perintah beriman kepada Rasul dibarengkan dengan beriman
kepada Allah s.w.t., sebagaimana firman-Nya:
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepadaAllahdan
Rasul-Nya dan kepada kitab yangAllah diturunkan kepada
Rasul-Nya, serta
kitab yang Allah turunkan sebelumnya”.
3). Kewajiban taat kepada Rasul karena menyambut
perintahAllah s.w.t.
sebagaimana firman Allah s.w.t. :
Artinya :
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk
ditaati
dengan seizin Allah”.
4) Perintah taat kepada Rasul secara khusus, sebagaimana
firman Alla>hs.w.t.
Artinya :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
Dari beberapa ayat tersebut dapat kita
simpulkan bahwasannya perintah untuktaat kepada Allah dan mengikuti Rasul
s.a.w., itu sangat penting sebagai wujud dari iman kita kepada Allah s.w.t. ini
menunjukkan bahwasannya kedudukan Sunnah mempunyai posisi yang penting sebagai
dasar hukum atau hujjah dalam Islam.
b. Dalil Hadits.
Hadits yang dijadikan dalil kehujjahan
Sunnah juga banyak sekali, diantaranya sebagaimana sabda Nabi s.a.w.
Artinya :
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan
sesat selama
berpegang teguh kepada keduanya yaitu kitab Alla>h dan
Sunnahku”. (HR
al-H{akim dan Malik)
Dari hadits diatas sudah jelas
bahwasannya manusia yang berpegang teguh kepada kitab al-Qur’an dan Sunnah Nabi
maka ia tidak akan pernah tersesat kejalan yang dimurkai Allah s.w.t.
c. Dalil Aqli
Jumhur ulama menyatakan bahwa as-sunnah
memiliki kedudukan kedua setelah al-Qur‟an
. Dalam hal ini Al-Suyuti dan Al-Qasimi memberikan sebuah pemikiran yang
rasional dan tekstual. Adapun argumen tersebut ialah:
1. Al-Qur‟an memiliki
sifat qath’i al-wurud, sedang as-sunnah bersifat zhanni al-wurud.
12 Oleh sebab itu yang bersifat qath’i harus didahulukan.
2. As-sunnah memiliki peran sebagai penjabaran al-Qur‟an. Ini harus dipahami bahwa yang menjelaskan (as-sunnah)
berkedudukan setingkat di bawah yang dijelaskan (al-Qur‟an).
3. Adanya beberapa hadis dan atsar yang memberikan
keterangan tentang
urutan dan kedudukan as-sunnah setelah al-Qur‟an. Hal ini bisa di lihat dari dialog antara Nabi dengan Mu‟az bin Jabal yang waktu itu diutus ke negeri Yaman sebagai
Qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuskan suatu perkara?”. Mu‟az menjawab, “Dengan Kitab Allah”. Jika tidak adanya
nashnya, maka dengan sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada
ketentuan
dalam sunnah maka dengan berijtihad.
4. Al-Qur‟an berasal dari Allah sedang sunnah atau hadis berasal dari
hamba dan utusannya, maka selayaknya segala sesuatu yang berasal dari Allah itu
lebih tinggi kedudukannya dibanding sesuatu yang berasal dari hamba-Nya.[7]
d.
Ijma’
Para Ulama
Para
ulama telah sepakat (konsensua) bahwa sunnah sebagai salah satu hujah dalam
hukum Islam setelah al-Qur‟an. Asy-Syafi‟I (w. 204 H) mengatakan: “Aku tidak
mendengan seseorang yang dinilai manusia atau oleh diri sendiri sebagai orang
alim yang menyalahi kewajiban Allah swt., untuk mengikuti Rasul saw., dan
berserah diri atas keputusannya. Allah tidak menjadikan orang setelahnya
kecuali agar mengikutinya. Tidak ada perkataan dalam segala kondisi kecuali
berdasarkan kitab Allah atau sunnah Rasul-Nya. Dasar lain selain dua dasar
tersebut harus mengikutinya. Sesungguhnya Allah telah menfardukan kita,
orang-orang sebelum dan sesudah kita dalam menerima khabar dari Rasul saw.
Tidak ada seorang punyang berbeda bahwa yang fardhu dan yang wajib adalah
menerima khabar dari Rasulullah saw. (Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i, 1983: 250)
Demikian juga ulama lain,
seperti as-Suyuthi (w. 911 H) berpendapat bahwa orang yang mengingkari
Kehujahan hadis Nabi baik perkataan dan perbuatannya yand memenuhi syarat-syarat
yang jelas dalam ilmu ushul adalah kapir, keluar dari Islam dan digiring
bersama orang Yahudi dan Nashrani atau bersama orang yang dikehendaki Allah
dari pada kelompok orang-orang kafir (Jalaludin As-Sayuthi, 1998: 140).
Asy-Syaukani (w. 1250) juga mempertegas bahwa para ulama sepakat atas kehujahan
sunnah secara mandiri sebagai sumber hokum Islam seperti al-Qur‟an dalam menghalalkan yang
halal dan mengharamkan yang haram. Kehujahan dan kemandiriannya sebagai sumber
hukum Islam merupakan keharusan (dharuri) dalam beragama. Orang yang
menyalahinya tidak ada bagian dalam beragama Islam (Muhammad bin Ali
As-Syaukani, 160-161. Dan As-Suyuti, Miftah al-Jannah, h. 140). Para
ulama dahulu dan sekarang sepakat bahwa sunnah menjadi dasar kedua setelah al-Qur‟an. Fuqaha sahabat selalu
bereferensi pada sunnah dalam menjelaskan al-Qur‟an dan dalam ber-istinbath hukum yang tidak
didapati dalam al-Qur‟an.
Dari berbagai pendapat di atas
dapat dipahami bahwa:
a. Para ulama sepakat bahwa
sunnah sebagai hujah, semua umat Islam menerima dan mengikutinya, kecuali
sekolompok minoritas orang.
b. Kehujahan sunnah adakalanya
sebagai mubayyin (penjelas) terhadap al-Qur‟an atau berdiri sendiri sebagai hujah untuk
menambah hokum-hukum yang belum diterangkan oleh al-Qur‟an.
c. Kehujahan sunnah berdasarkan
dalil-dalil yang qath‟i
(pasti), baik dari ayat-ayat al-Qur‟an
atau hadis Nabi dan atau rasio yang sehat maka bagi yang menolaknya dihukumi
murtad.
d.
Sunnah yang dijadikan hujah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan
shahih, baik mutawatir atau ahad.[8]
E. FUNGSI HADIS
TERHADAP AL-QUR’AN
Hadits
Nabi SAW merupakan penafsiran dalam praktek-praktek penerapan ajaran Islam
secara factual dan ideal, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadits
sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-quran. Dan hadits mempunyai beberapa
fungsi, diantaranya:12
a. Hadits berfungsi sebagai bayan al - Tafshili,
yaitu menjelaskan atau memerinci ke mujmalan Al-Quran sehingga dapat dipahami
umat Islam. Contoh perintah sholat yang ada dalam Al-Qur’an (Surah Al-Baqarah
ayat: 43 ) berikut ini:
Artinya : Dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku.
Makna Ayat di atas hanya berbicara secara umum tentang
shalat, sedangkan tata cara pelaksanaan shalat tidak dijelaskan di dalam ayat
tersebut, maka hal ini dijelaskan oleh Rasullah SAW di dalam Hadits beliau,
sebagaimana sabda Beliau yang berbunyi :
Artinya: Shalatlah sebagaimana kamu
melihat aku shalat (HR. Bukhori)
b. Hadits berfungsi sebagai bayan al Takid, yakni
memperkuat dasar hukum yang telah ditetapkan dalam Al- Quran, yakni dengan cara
mengulangi apa yang dikatakan dalam Al- Quran, seperti perintah Allah dalam
Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah sebagai berikut: “Karena itu, barang siapa
yang mempersaksikan pada waktu itu bulan,
hendaklah ia berpuasa…. (Q.S.
Al-Baqarah/2: 185). Ayat Al-Qur’an ini juga di Ta’kid (di
perkuat) oleh hadis Nabi SAW, yakni; Apabila
melihat (ru’yat) bulan, maka berpuasalah. Dan begitu pula apabila melihat
(ru’yat) bulan itu maka, berbukalah
(HR. Muslim)
c. Hadits berfungsi sebagai bayan al muthlak, yakni
memberikan batasan-batasan dari dalil Al-Quran yang masih berbentuk dalil mutlaq,
seperti laki-laki dan perempuan yang mencuri. Sebagaimana Allah SWT jelaskan
dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah beriku ini: “Laki-laki dan perempiuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa dan bijaksana.
(Q.S. Al-Maidah/5: 38). Tedapat pula Hadis Nabi SAW yang menyatakan: “Tangan
pencuri tidak boleh dipotong, melainkan (mencuri sebilai) seperempat dinar atau
lebih. (Mutafaqqun menurut lafaz Muslim).
d. Hadits berfungsi sebagai bayan al takhsis, yaitu
menjelaskan ayat Al-Quraan yang masih bersifat aam (umum) seperti dalam
pemberian harta waris kepada anak laki-laki dan perempuan bagi orang tua. Yang
sudah meninggal tapi Rasul membatasi dengan ketentuan bahwa anak yang membunuh
tidak bisa menerima warisan dari orang tua yang ia bunuh. Sebagaimana di jelaskan
dalam Al-Qur’an dalam Surah. An-Nisa 11: “Allah
menyari’atkan bagimu tentang
pembagian pusaka untuk anak-anakmu, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua anak perempuan.(Q.S.
An-Nisa 11). Di perkuat oleh hadis Nabi, yakni “Seorang pembunuh tidak berhak menerima harta
warisan”.(HR. Ahmad)
e. Hadits berfungsi sebagai bayan tasyri yaitu
menetapkan suatu hukum yang tidak disebut dalam Al-Quran secara jelas seperti
penentuan hukum zakat fitrah, sebagaimana Hadis Nabi yang Artinya: “Bahwasanya
Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan
Ramdhan satu sukat (Sha’) kurma atau gandum
untuk setiap orang baik merdeka atau hamba,
laki-laki atau perempauan Muslim”. (HR. Muslim).
f. Hadits berfungsi sebagai bayan al nash yaitu
berfungsi menghapus hukum-hukum yang terdapat dalam al-quraan seperti
disebutkan dalam al-quran bagi orang yang sudah ada tanda-tanda kematian
hendaknya memberikan wasiat kepada ibu bapak dan kerabatnya, namun din ash
dengan hadits Nabi” tidak ada wasia untuk pemberi waris”. (tentang ini masih
banyak diperdebatkan para ahli hukum dan hadits).[9]
Fungsi al-Hadits terhadap al-Qur`an yang
paling pokok adalah sebagai bayân, sebagaimana ditandaskan dalam ayat: “ k e t e r a n g a n – k e t e r a n g a n (mu`jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al
Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,. (Qs.16:44)”. Ayat tersebut menunjukkan
bahwa Rasul SAW bertugas memberikan penjelasan
tentang kitab Allah. Penjelasan Rasul itulah
yang dikategorikan kepada alhadîts. Umat
manusia tidak akan bisa
memahami al-Qur`ân tanpa melalui al-hadîts tersebut. Al- Qur`ân bersifat kullydan ‘am, maka yang juz’iy dan
rinci adalah alhadîts. Imam
Ahmad menandaskan bahwa
seseorang tidak mungkin bisa memahami al-Qur`ân secara keseluruhan
tanpa melalui al-hadîts. Imam Al-Syatibi jugaberpendapat bahwa kita
tidak akan bisa mengistinbath atau
mengambil kesim pulan
dari hukum al-Qur`ân tanpa melalui al-hadîts. Dengan demikian
jelaslah fungsi al-hadîts
terhadap al-Qur`ân itu cukup penting, yaitu sebagai bayân atau penjelas.
Dalam konteks ini penulis akan memberikan contoh serta gambaran tentang bagaimana
al-hadîts menjelaskan isi al-Qur`ân:
1.
Al-Qur`ân telah menghalalkan makanan yang
baik-baik (Qs.5:1), dan megharamkan yang kotorkotor (Qs.7:156); tetapi di
antara keduanya (di antara yang baikbaik dan yang kotor-kotor) itu ada terdapat
beberapa hal yang tidak jelas atau syuhbat, yang samarsamar (tidak nyata baik dan tidak nyata buruknya).
Ukuran baik dan buruk pun menurut pandangan Hamdani
Khairul Fikri manusia akan berbeda. Oleh sebab itu, Rasul
SAW yang menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk itu, dengan istilah
halal dan haramnya. Beliau mengharamkan segala hewanhewan (binatang-binatang)
buas, yang mempunyai taring, dan burung-burung yang mempunyai kuku yang
mencakar dan yang menyambar, demikian juga beliau mengharamkan keledai jinak
(bukan keledai hutan), karena semua itu termasuk binatang yang kotor-kotor dan
yang kejikeji.
2.
Al-Qur`ân telah menghalalkan segala minuman
yang tidak memabukan, dan mengharamkan segala minuman yang memabukkan. Di antara
yang tidak memabukkan dan yang memabukkan ada beberapa macam minuman, yang
sebenarnya tidak memabukkan, tetapi dikuatirkan kalau-kalau memabukkan juga,
seperti tuak dari ubi, tuak kedelai, tuak labu, atau tuak yang ditaruh dalam
bejana yang dicat dengan ter dari dalamnya (al-
Muzaffat), juga yang ditaruh di dalam batang kayu
yang dilobangi (al- Naqir), dan yang serupa dengan minuman yang memabukkan dan membawa ke b
i n a s a a n .K e m u d i a n Rasulullah SAW kembali menghalalkan segala
sesuatu yang tidak memabukkan.
3.
Al-Qur’an telah membolehkan daging hewan-hewan
yang ditangkap oleh hewan-hewan pemburu yang sudah diajar patuh dan mengerti. Jelas,
apabila hewan pemburu itu belum terlatih, maka haramlah memakan hewan dari
hasil buruan (yang ditangkapnya), karena dikuatirtkan bahwa hewan yang
ditangkapnya itu buat dirinya sendiri. Kemudian timbul pertanyaan yang beredar antara
dua masalah yaitu: apabila hewan pemburu itu sudah terlatih, tetapi buruan itu
ditangkapnya untuk dirinya sendiri, tidak untuk tuan yang menyuruh-nya, denga
tandatanda bahwa buruannya itu telah dimakannya sendiri sekalipun sedikit, maka
bagaimanakah hukumnya?Sunnah Rasulullah SAW, menjelaskan bahwa jika buruan itu
dimakan oleh anjing pemburu, maka kaum muslimin dilarang memakannya, karena
dikuatirkan hewan yang ditangkapnya itu untuk dirinya sendiri.
4.
Al-Qur`ân melarang orang yang sedang ihram
mem-buru buruan dengan muthlaq, artinya tidak me-makai syarat, apabila larangan
itu diabaikannya, maka diwajibkan jaza (balasan) atas orang yang melanggarnya (membunuhnya).
Tetapi larangan memburu itu dikecualikan bagi orang yang halal, artinya bagi
yang tidak mengerjakan ihram. Pengecualian itu dengan muthlaq juga. Kemudian timbul
pertanyaan: Bagaimana hukumnya orang yang sedang ihram itu memburu dengan tidak
disengaja?, Oleh Rasul SAW dijelaskan bahwa memburu buruan bagi orang yang
sedang ihram itu, sama saja, hukumnya antara yang sengaja dengan yang tidak
disengaja, dalam kewajibannya menunaikan denda atau dam.
Fungsi al-Hadits
terhadap al- Qur`ân sebagai bayân itu difahami
oleh ulama dengan pemahaman, antara lain
sebagai berikut:
Bayân taqrir ialah al-Hadits yang berfungsi menetapkan, memantapkan, dan
mengokohkan apa yang telah ditetapkan al- Qur`ân, sehingga maknanya tidak perlu
dipertanyakan lagi. Ayat yang ditaqrir
oleh al-Haditsmtentu saja yang sudah jelas
maknanya hanya memerlukan penegasan supaya jangan sampai kaum muslimin salah menyim-pulkan.
Contoh: Firman Allah SWT:
فَمَن
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: Barangsiapa yang menyaksikan
bulan ramadlan maka hendaklah shaum. (Qs.2:185)
Ditegaskan oleh Rasulullah SAW:
صُومُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ
Artinya :Shaumlah kalian karena
melihat tanda awal bulan ramadlan dan berbukalah kalian karena melihat tanda
awal bulan syawal. Hr.Muslim.[10]
Jadi kesimpulan yang dapat di ambil
dalam pembahasan ini yaitu bahwa fungsi
hadis terhadap Al-Qur’an selaku sumber hukum kedua dan juga sebagai bayan
terhadap Al-qur’an untuk dapat menjelaskan ayat-ayat yang terkandung dalam
Al-qur’an dan memperjelas hukum isi
kandungan ayat tersebut dan bisa juga untuk membuat hukum baru terhadap
al-qur’an. Dan juga berfungsi untuk menguatkan ayat Alqur’an sebagai sumber
ajaran islam setelah Al-qur’an. dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kepada
orang-orang beriman untuk taat secara mutlak kepada apa yang diperintahkan dan
dilarang Rasulullah Saw, serta mengancam orang yang menyelisihinya
Daftar
pustaka
Abdussahid, Kaharuddin dan, ‘HADIS SEBAGAI
SUMBER HUKUM ISLAM’:, Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Kemanusiaan,
Vol. 2 No. (2018), 460–62
AS-SUNNAH, AL-QUR’AN DAN, and SEBAGAI
SUMBER INSPIRASI ETOS KERJA ISLAMI, ‘No Titl’, Dakwah Tabligh, Vol. 15,
N (2014), 4
Fikri, Hamdani Khairul, ‘FUNGSI HADITS
TERHADAP AL-QUR`AN’, Tasâmuh, Volume 12, (2015), 180–82
H. Hairillah, ‘KEDUDUKAN AS-SUNNAH DAN
TANTANGANNYA DALAM HAL AKTUALISASI HUKUM ISLAM’, Mazahib, Vol. XIV,
(2015), 193
Himmawan, Muhamad Ali dan Didik, ‘PERAN
HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADITS DAN FUNGSI
HADITS TERHADAP ALQURAN’, Risâlah, Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam,
Vol. 5, No (2019), 128
Makatungkang, Ramli, ‘KEHUJJAHAN AS SUNNAH
DALAM MENGISTINBATKAN HUKUM ISLAM’
Makhfud, ‘MENINJAU ULANG SIGNIFIKANSI
KEDUDUKAN HADITS DAN INGKAR AL SUNNAH’, Volume 48 (2017), 49–50
Nasrulloh, ‘Rekonstru Ksi Definisi Sunnah
Sebagai Pija Kan Kontekstuali Tas Pemahaman Hadits’, Ulul Albab, Volume
15, (2014), 18
Relit Nur Edi, ‘AS-SUNNAH (HADITS) (Suatu
Kajian Aliran Ingkar Sunnah)’, ASAS, Vol.6, No. (2014), 133–35
Sulaemang L., ‘SIKAP PARA PENGEKOR HAWA
NAFSU DAN KELOMPOK SESAT TERHADAP ASSUNNAH SEBAGAI HUJJAH’, Al-Munzir,
Vol. 8, No (2015), 296–97
[1]
H. Hairillah, ‘KEDUDUKAN AS-SUNNAH DAN TANTANGANNYA DALAM HAL AKTUALISASI
HUKUM ISLAM’, Mazahib, Vol. XIV,
(2015), 193.
[2]
Makhfud, ‘MENINJAU ULANG SIGNIFIKANSI KEDUDUKAN HADITS DAN INGKAR AL
SUNNAH’, Volume 48 (2017), 49–50.
[3]
AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH and SEBAGAI SUMBER INSPIRASI ETOS KERJA ISLAMI,
‘No Titl’, Dakwah Tabligh, Vol. 15, N
(2014), 4.
[4]
Nasrulloh, ‘Rekonstru Ksi Definisi Sunnah Sebagai Pija Kan Kontekstuali
Tas Pemahaman Hadits’, Ulul Albab,
Volume 15, (2014), 18.
[5]
Muhamad Ali dan Didik Himmawan, ‘PERAN HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA,
DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADITS DAN FUNGSI HADITS TERHADAP ALQURAN’, Risâlah, Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam,
Vol. 5, No (2019), 128.
[6]
Ramli Makatungkang, ‘KEHUJJAHAN AS SUNNAH DALAM MENGISTINBATKAN HUKUM
ISLAM’.
[7]
Relit Nur Edi, ‘AS-SUNNAH (HADITS) (Suatu Kajian Aliran Ingkar Sunnah)’, ASAS, Vol.6, No. (2014), 133–35.
[8]
Sulaemang L., ‘SIKAP PARA PENGEKOR HAWA NAFSU DAN KELOMPOK SESAT TERHADAP
ASSUNNAH SEBAGAI HUJJAH’, Al-Munzir,
Vol. 8, No (2015), 296–97.
[9]
Kaharuddin dan Abdussahid, ‘HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM’:, Tajdid: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan
Kemanusiaan, Vol. 2 No. (2018), 460–62.
[10]
Hamdani Khairul Fikri, ‘FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR`AN’, Tasâmuh, Volume 12, (2015), 180–82.
Komentar
Posting Komentar