PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUALITAS SANAD: SAHIH, HASAN, DAN DA’IF
PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI
KUALITAS SANAD: SAHIH, HASAN, DAN DA’IF
Nama : Zul'Afni Batubara
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Motto : Usaha Tidak Akan Menghiyanati Hasil
E_mail : zulafni_24
Hobby : Olahraga
A.
PENDAHULUAN
Hadis yang dihimpun para ulama,
di tulisbsecara intensif setelah siedarkannya surat perintah oleah umar bin
abdul aziz kepada para gubernurnya khususnya madina. Hadis berkhitdmat dalam
mengungkapkan dan mengkritik perawi yang tidak sesuai dengan standar kualitas
kesahihan hadis.
Hadis sanad sangat diperlukan
karena sanad hadis merupakan kunci kesahihan suatu hadis. Sanad juga berfungsi
untuk meyakinkan agar hadis tersebut dapat dipertanggungjawabkann. Oleh karena
itu pada makalah ini akan dibahas hadis dari segi kualitas sanadnya.
Dan hadis juga sebagai sumber
hukum kedua dalam islam. Hadis memiliki pembagian berdasarkan dari segi
kualitasnya, hadis dibagi berdasarkan kualitasnya agar terhindar dari kesalahan
dalam membuatnya sebagai sumber hukum agar hukum yang ditetapkan darihadis itu
benar-benar kuat sebagai sumber hukumnya. Karna maraknya hadis palsu dikalangan
para ulama maka dari itu dibutuhkan kepastian sanad dalam hadis agar tidak ada
keraguan didalamnya.
B.
HADIS
SAHIH
Hadis
shahih sendiri dalam pengertian ulama Hadis yang seperti didefinisikan oleh
Ibnu Shalah adalah, Hadis musnad yang sanad-nya muttashil melalui
periwayatan yang „adil lagi dhabit dari perawi „adilcsertacdhabit
juga sampai akhir sanadnya, tidak syaz dan tidak juga mu‟allal (terkena „illat). Sedangkan
Imam an Nawawy mendefinisikan Hadis Shahih, adalah Hadis yang bersambung sanad-nya
melalui orang-orang yang „adil serta dhabithdengan tidak syaz dan
tidak juga „illat. Ada juga yang mendefinisikan Hadis Shahih itu adalah
Hadis musnad yang tersambung sanad-nya melalui perawi yang „adil
dan dhabith, dari perawi yang „adil dan thabith pula,
yang jalurnya sampai kepada Rasulullah Saw, atau sampai pada akhir sanad-nya
baik kepada Sahabat, maupu tabi‟in,
tidak ber-Syaz, tidak juga ber-Illat, serta tidak ditolak,
Pendapat ini di dukung oleh Ibnu Kasthir dan Shubhi as Shalih.
Syarat
Hadis shahih menurut para ulama Ahlusunnah Wal Jamaah itu dibangun dari
yang telah di sebutkan sebelumya di pembahasan definisi Hadis shahih. Secara
konseptual Hadis shahih memiliki lima katagori untuk menyatakan Hadis itu
diterima dan dikatakan shahih, di antaranya:
a.
Hadis harus bersambung sanadnya. yaitu Hadis bersambung sanad itu adalah Hadis yang tidak terputus
jalur sanadnya diantara satu perawi dan perawi di bawahnya, dan Harus
dipastiakan guru dan murid saling bertemu.
b.
Perawi yang ‟adil, „adil sendiri tidaklah
dimaknai seperti yang dipahami secara umum, namun Ilmu Hadis memiliki definisi
tersediri dalam memaknai „adil. „Adil dalam konsep ilmu Hadis,
seperti yang disebutkan oleh ulama Hadis bahwa Keharusan para perawi memenuhi
beberapa syarat, seperti seorang perawi harus betul-betul istiqamah terhadap
agama, senantiasa melaksanakan perintah agama meninggalkan larangannya, tidak
pernah meninggalkan apa saja yang di wajibkan dan meninggalkan semua perbuatan haram. Jika
seorang rawi luput dari salah satu syarat tersebut maka digolongkan dengan rawi
yang tidak „adil. Selain itu seorang perawi harus beragama Islam tidak
munafiq, tidak zindiq, dan tidak juga fasiq. Seorang perawi juga harus
menjaga muru‟ah, yang di maksud dengan muru‟ah adalah prilaku seseorang yang
dapat membawa pribadi seseorang itu mengurangi kehormatanya. Seperti buang air
kecil sembarangan. Selanjutnya dhabith. Kata dhabith sendiri
secara bahasa adalah kokoh, atau suatu yang kuat. Oleh karena itu dhabith dalam
ilmu Hadis menyatakan sifat seorang perawi yang memiliki daya ingat yang
sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Para
ulama Hadis membagi dhabith kepada dua bagian, ada yang disebut dengan dhabith
as Shadr, yaitu terpeliharanya periwayatan Hadis dalam ingatan perawi,
serta ia dapat menyampaikan kembali kepada orang lain sesuai dengan apa yang ia
dengar. dhabith al kitab, ini adalah Bagaimana seorang pewari Hadis
betul-betul valid dalam penulisan Hadis ketika ia mendapatkan dari gurunya,
serta apa yang telah di tulisnya juga sesuai pada saat di sampaikan kepada
muridnya. Selain itu Hadis yang sahih adalah tidak ada pertentangan dengan al
Qur‟an atau Hadis
yang lebih tinggi derajatnya, istilah ini biasa disebut dengan tidak ber-syaz,
Imam Syafi‟i
mendefinisikan Syaz, jika ada riwayat yang tsiqah namun ada
riwayat lain yang bertentangan dengannya yang lebih rendah ke‟adilan dan ke dhabith-tannya,
maka hadis yang bertentangan itu disebut Hadis yang Syaz.
c. Tidak ber-„illat, definisi „Illat sendiri
dalam pengertian ilmu hadis adalah sifat tersembunyi atau samar-samar yang
mengakibatkan hadis sersebut cacat dalam penerimaanya, kendati terkadang secara
lahiriah hadis terlihat tidak ada masalah atau tidak nampak illat-nya,
namun terkadang jika diteliti lebih jauh tampak
kecacatannya,Dengan demikian maka yang dimaksud
Hadis tidak ber-illat adalah hadis yang didalamnya tidak terdapat
kesamaran atau keragu-raguan baik dalam sanad hadisnya atau pun di matanya.[1]
Untuk dapat mengetahui keshahihan
sanad dalam meneliti hadis, diperlukan acuan.Acuan
yang digunakan adalah kaedah kesahihan hadis bila ternyata hadis yang diteliti
bukanlah hadis mutawatir.Unsur-unsur kaedah kesahihan hadis adalah
sebagai berikut:
1.
Sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung mulai
dari mukharrijnya sampai kepada Nabi.
2.
Seluruh periwayat dalam hadis itu harus bersifat adil dan dhabit.
3.
Hadis itu, jadi sanad dan matannya,
harus terhindar dari kejanggalan (syuzuz) dan
cacat (‘illat).
Dapat disimpulkan bahwa kaedah kesahihan yang berhubungan dengan sanad ada lima, yaitu
(1) sanad bersambung,
(2) periwayat bersifat adil,
(3) periwayat bersifat dhabit,
(4) terhindar dari kejanggalan (syuzuz),
(5) terhindar dari cacat (‘illat).
Melihat
unsur-unsur kaedah kesahihan hadis tersebut, maka para ulama hadis menilai
bahwa hadis yang tidak memenuhi sebagian unsur-unsur di atas, maka dapat
dinyatakan bahwahadis itu tidak sahih.[2]
Dalam hal ini penulis merasa tergugah dan terpanggil untuk meneliti
tentang living
hadis dalam kehidupan terutama dalam
penyampaian dakwah di tengah masyarakat. Para mubaligh dalam menyampaikan
dakwahnya selalu dikuatkan dengan dalil Al-Quran dan Hadis Rasulullah SAW.,
hanya terkadang hadis-hadis yang disampaikan masih variatif, adakalanya sudah
berkategori shahih, hasan, bahkan masih banyak yang dhaif juga maudhu‟. Padahal dalam kriteria hadis yang bisa
diterima atau diamalkan adalah yang berkualitas shahih dan hasan. Bagaimana sesungguhnya
hadis-hadis yang dipakai ulama dalam berdakwah, yang akhirnya apakah sudah
sesuai standar pengamalan sebuah hadis yaitu shahih dan hasanJika
berkualitas shahih dan hasan maka hadis-hadis tersebut harus
diamalkan.[3]
C. HADIS HASAN
Sebagai contoh penggunaan istilah hasan untuk menyebut hadits sahih, adalah komentar yang dikemukakan oleh
al-Syafi’i tentang its
terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Ibn
Umar. Adapun contoh istilah hadits hasan yang dipakai untuk menyebutkan hadits garib adalah perkataan Ibrahim al-Nakhai (96
H).Ia menyebutkan bahwa para ulama tidak senang ketika mereka berkumpul
kemudian ada seseorang yang mentakhrj hadits hasan
yang dipunyainya. Terhadap perkataan
al-Nakhai ini, al-Sam'ani mengatakanbahwa yang dimaksud oleh al-Nakhai dengan
istilah hasan
tersebut adalah hadits garib. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa
istilah hasan
telah dikenal pada masa sebelum
al-Tirmidzi, meskipun penggunaannya tidak menunjukkan terhadap kesamaan maksud
seperti yang diistilahkan oleh al-Tirmidzi terhadap istilah yang sama. Sebab
istilah hasan
dipakai untuk menunjukkan hadits sahih dan pada kesempatan yang lain digunakan
untuk hadits da`if.
Sementara itu konsepsi al-Tirmidzi tentang istilah hadits hasan. adalah setiap hadits yang diriwayatkan oleh
jalur periwayatan (isnad/sanad) yang di dalamnya tidak terdapat perawi
yang diduga berbuat bohong, haditsnya tidak Sydz, dan hadits tersebut diriwayatkan tidak hanya melalui jalur
periwayatan saja. Lebih lanjut konsepsi tersebut
dapat dijelaskan bahwa arti dari setiap hadits
yang diriwayatkan pada awalnya mempunyai arti umum yang dapat mencakup keseluruhan macam hadits, kemudian
al-Tirmidzi memeberikan beberapa batasan, yaitu;
1. Di dalam sanad hadits tersbut tidak terdapat perawi yang diduga berbuat bohong.
Dengan batasan ini, maka dapat diartikan bahwa Mengenal Kitab
Sunan Al-Tirmidzi (Hasan Su’aidi)hadits hasan diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah, shadq (jujur) meskipun tidak dabith (mempunyai tingkat hafalan yang kuat). Juga para perawi yang da`if sekalipun dengan syarat tidak
termasuk perawi yang diduga berbuat bohong. Oleh karena itu perawi yang
hafalannya jelek dan pernah salah dalam meriwayatkan hadits atau perawi yang mastr atau tidak diketahui tentang jarh dan ta'dl-nya atau perawi yang jarh dan ta'dl-nya diperdebatkan dan tidak
diketahui mana yang lebih kuat dari perbedaan perawi tersebut, juga perawi yang
mudallas dengan cara meriwayatkan hadits
dengan lafaz tahammul (periwayatan)'an'anah. Dengan penjelasan tersebut maka perawi yang mempunyai sifat-sifat
tersebut tidak menafikan syarat diduga untuk berbuat bohong, akan tetapi dapat
berpindah predikatnya dari perawi yang tsiqah menjadi perawi yang tidak diduga berbuat bohong.
Dengan demikian maka perawi tersebut kedudukannya berada di bawah para perawi hadits
sahih.
2. Hadis yang diriwayatkan tidak termasuk hadits yang sydz atau hadits yang diriwayatkan
oleh perawi yang bertentangan dengan riwyat perawi yang lebih kuat. Oleh karena itu maka hadits hasan disyaratkan terhindar dari
adanya pertentangan antara riwayat orang yang tsiqah dengan orang yang lebih tsiqah.
3. Hadis yang diriwayatkan juga diriwayatkan oleh perawi lain,yang
dimaksudkan adalah hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur periwayatan yang
lain dengan catatan bahwa periwayatan yang lain tersebut kualitasnya jauh lebih
unggul. Hal ini sebagaimana juga dikatakan oleh al-Syakhawi. Persyaratanini
diterapkan karena diasumsikan bahwa jika banyak riwayatriwayat lain terhadap
suatu hadits, maka sudah barang tentu kedudukan hadits tersebut juga kuat.
Periwayatan lain ini bukan berarti harus sesuai lafaz atau matan nya akan tetapi cukup hanya
dengan persamaan makna dari kandungan hadits yang dimaksud.[4]
Dari
sisi kepribadian dan kualitas moralnya, seorang periwayat hadis yang dipercaya
harus dimiliki kualitas yang adil yang menurut jumhur ulama hadis adalah
seorang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Islam, 2. Baligh, 3.
Berakal, 4. Memelihara muru’ah, 5. Tidak berbuat dosa besar, misalnya syirk, 6.
Tidak berbuat dosa kecil, 7.Menjahui hal-hal yang dapat merusak muru’ah.[5]
Adapun hadis hasan lebih rendah
tingkatannya dibandingkan hadis sahih karena sifat dhabith perawinya yang
kurang baik hafalannya atau catatannya. Oleh karena itu kualitas riwayatyang
disampaikan lwbih rendah dari riwayat yang disampaikan perawi yang kuat
hafalannya dengan demikian semakin banyak sarat yang tidak terpenuhi mka hdis
tersebutbsemakin turun tingkatannya menjadi hadis pada tingkatan hasan.[6]
Adapun kelayakan Kelayakan
seorang perawi dalam periwayatan hadis ini didasarkan pada dua standar, yaitu
segi kualitas pribadi danmoralnya serta kapasitas intelektual.
D. HADIS DA’IF
Ke-Ḍa’īf-an Hadis Menurut Ulama Klasik
Status
ke-ḍa’īf-an
yang kemungkinan terjadi pada suatu atau beberapa hadis yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw. dikarenakan adanya sebab-sebab tertentu yang terkait pada
dua hal, yakni pertama; sanad atau jalan periwayatan dan yang kedua;
menyangkut matn atau isi berita yang disandarkan kepada Nabi saw.
Cacat yang terkait dengan sanad bisa jadi disebabkan
oleh ketiadaan persambungan sanad, ataukah karena seorang periwayat
tidak bertemu langsung dengan seorang guru sebagai pembawa berita, atau ketidak
„adil-an dan ketidak ḍābiṭ-an, atau mungkin karena adanya
keganjilan (syāż) dan cacat („illat). Adapun jika menyangkut matn,
maka kemungkinan penyebabnya adalah sama dengan dua penyebab terakhir bagi sanad
sebagaimana telah disebutkan, yaitu keganjilan (syāż) dan cacat („illat), atau karena menyalahi tolok
ukur ke-sahih-an matn yang enam sebagaimana dikemukakan oleh al-Bagdādiy
dan dikutip oleh M. Syuhudi Ismail. Mengenai perincian selengkapnya terkait
jeni-jenis hadis ḍa’īf, berikut akan dikemukakan
klasifikasianya sesuai dengan sebab ke-ḍa’īf annya
yaitu :
1. Ḍa’īf akibat
ketiadaan persambungan sanad
2.
2.
Ḍa’īf sebab
cacat ke-„adil -an.
3.
Ḍa’īf sebab
cacat dari segi ke-ḍabiṭ-an
Adapun Ibnu Qayyim berpendapat
bahwa hadis da’ft tidak dapat dijadikan sebagai sumber ijtihad maupun berfatwa.
Karena menurut Qayyim hadis da’if ialah hadisyang tidak batil dan tidak
munkar setra perawinya tidak tertuduh
dusta.[7]
Hadis ḍa’īf merupakan
salah satu dari jenis pembahagian hadis jika dilihat dari segi kualitasnya.
Menurut bahasa, ḍa’īf
berarti lemah sebagai lawan dari kata qawīy (kuat),
dan ia sinonim dengan kata marīḍ (sakit) yang oleh al-Khaṭṭābiy dipakai istilah saqīm.
Digunakannya istilah marīḍ maupun saqm yang juga berarti
sakit. Dalam hal ini tentu tidak dalam pengertian haqīqiy,
tetapi majāziy sebagaimana dengan istilah sahih yang setimbang dengan فعيل yang berarti فاعل (bermakna pelaku ) dari الصحة yang dimaksudkan sebagai hakekat yang ada pada tubuh, yaitu
sehat.[8]
Dari
berbagai defrnisi hadis da’if dapat dipilih bahwa hadis da’if adalah hilangnya
suatu sayrat dari syarat-syarat suatu hadis yang disebut maqbul. Baik dari segi sanad maupun matannya.Dari segi sanad
kedaifan hadis dapat dipilih menjadi dua macam:
1. Karena
keterputusan sanad.
2. Karena pada
rawi yang menyebabkanhadisnya tertolak.[9]
Yang termasuk dalam Hadîts dla’îf yang disebabkan karena
ketidak muttasil-an sanad adalah: Pertama, Hadîts mursal. Menurut
Jumhur Muhadîtsin, Hadîts mursal adalah Hadîts yang diriwayatkan
oleh seorang tâbi’în baik dia besar atau kecil dari Rasûlullâh saw, baik berupa
perkataan, perbuatan dan maupun taqrîr-nya. Akan tetapi sebagian ahli
Hadîts mengatakan bahwa Hadîts mursal itu adalah Hadîts yang diriwayatkan oleh
seorang tâbi’în besar saja dari Rasûlullâh saw, sedangkan yang dari thâbi’în
kecil dikategorikan sebagai Hadîts munqathi’. Kedua, Hadîts munqathi’.
Hadîs munqathi’ adalah Hadîts yang dalam sanadnya gugur satu orang
perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi
yang mubham. Dari segi gugurnya seorang perawi, ia sama dengan Hadîs mursal,
hanya saja kalau Hadîs mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan
sahabat.
Sementara Hadîs munqathi’ tidak ada batasan gugurnya
perawi pada tingkatan keberapa, baik gugurnya di awal, di tengah atau di akhir
tetap disebut Hadîs munqathi’. Dengan demikian Hadîts mursal dapat
dimasukkan kedalam Hadîs munqathi’ sebab gugurnya pada posisi di awal
yakni pada tingkatam sahabat. Ketiga, Hadîts Mu’dal. Hadîts mu’dal
adalah Hadîts yang sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara
berturut-turut. Termasuk jenis ini adalah Hadîs yang dimursalkan oleh tâbi’
alaltâbi’în.
Hadîs ini sama bahkan lebih rendah dari Hadîs munqathi’.
Sama dari segi keburukan kualitasnya, bila ke munqathi’an-nya lebih. dari satu
tempat. Adapun perbedaan antara mu’dal dengan munqathi’ adalah
kalau mu’dal sanadnya gugur dua atau lebih secara berurutan, sedangkan pada munqathi’
sanadnya yang gugur satu atau lebih tidak secara berurutan. Ibnu Shalah
mengatakan bahwa setiap Hadîts mu’dal itu termasuk munqathi’,
akan tetapi tidak setiap munqathi’ itu mu’dal. Keempat,
Hadîts Mudallas. Secara etimologi kata tadlis berasal dari akar
kata al-dalas yang berarti al-dzulmah (kedzaliman). Tadlis
dalam jual beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya. Dari sinilah
diambil pengertian tadlis dalam sanad. Karena memiliki kesamaan alasan,
yakni menyembunyikan sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkannya.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad,
‘SEJARAH DAN KEDUDUKAN SANAD DALAM HADIS NABI’, TAHDIS Volume 7 Nomor 1
Tahun 2016, Volume 7 N (2016), 60
Ardiansyah, ‘HADIS DA’IF SEBAGAI DALIL BERAMAL IBADAH DALAM
PERSPEKTIF ULAMA’, Analytica Islamica, Vol.9 no. (2012), 93
Arifin, Johar, ‘“Pendekatan Ulama Hadis Dan Ulama Fiqh Dalam
Menelaah Kontroversial Hadis’’”’, JURNAL USHULUDDIN, Vol. XXII (2014),
hlm. 148
Febriyarni, Busra, ‘Analisis Hadis-Hadis Yang Disampaikan
Mubaligh Di Masjid Agung Baitul Makmur Rejang Lebong’, |Jurnal Dakwah Dan
Komunikasi, Vol. 3, No. 1, 2018, Vol. 3, No (2018), 41
Hading, ‘HADIS ḌA’ĪF (SEBAB-SEBAB KE-ḌA’ĪF-AN DAN KE-ḤUJJAH-ANNYA MENURUT
ULAMA AHLI HADIS)’, HADIS DA’IF, Vol V, NO. (2017), 18
Idris, Abdul Fatah, ‘PEMIKIRAN IBNU QAYYIM AL JAWZIYYAH
TENTANG PENGGUNAAN HADIS DA’IF DALAM ISTINBAT HUKUM’, Jurnal Kajian Hukum
Islam, Vol. VII n (2013), 129
Nasution, Al-Hafidh, ‘Kritik Konsep Hadis Shahih Dalam
Perspektif Syi’ah’, Jurnal: Penelitian Medan Agama, Vol. 9, No (2018),
hlm. 247-280
RAHMANTO, MUKHLIS, ‘OTORITAS HADIS DAIF DAN PROBLEM
EPISTEMOLOGIS HADIS DI DI MUHAMMADIYAH’, Jurnal TarJih, Vol. 12 No
(2014), 53
Rokhim, Abdul, ‘HADÎTS DLA’ÎF DAN KEHUJJAHANNYA (Telaah
Terhadap Kontroversi Penerapan Ulama’ Sebagai Sumber Hukum)’, Al-Ahkam,
Vol.V No. (2009), 189
Su’aidi, Hasan, ‘MENGENAL KITAB SUNAN AL-TIRMIDZI (KITAB
HADITS HASAN)’, RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010, Vol. 13, N (2010),
134–35
[1]Al-Hafidh Nasution, ‘Kritik Konsep Hadis Shahih Dalam Perspektif Syi’ah’, Jurnal: Penelitian Medan Agama, Vol. 9,
No. 2. (2018), hlm. 247-280.
[2]Johar Arifin, “Pendekatan Ulama Hadis Dan Ulama Fiqh Dalam Menelaah
Kontroversial Hadis’’, JURNAL USHULUDDIN,
Vol. XXII. No.2 (2014), hlm. 148.
[3]Busra
Febriyarni, ‘Analisis Hadis-Hadis Yang Disampaikan Mubaligh Di Masjid Agung
Baitul Makmur Rejang Lebong’, |Jurnal
Dakwah Dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, 2018,
hlm. 41.
[4]Hasan
Su’aidi, ‘MENGENAL KITAB SUNAN AL-TIRMIDZI (KITAB HADITS HASAN)’, RELIGIA Vol. 13, No. 1, 2010, hlm.,
134–35.
[6]Ardiansyah,
‘HADIS DA’IF SEBAGAI DALIL BERAMAL IBADAH DALAM PERSPEKTIF ULAMA’, Analytica Islamica, Vol.9 No. 1,
2012,hlm. 93.
[7]Abdul
Fatah Idris, ‘PEMIKIRAN IBNU QAYYIM AL JAWZIYYAH TENTANG PENGGUNAAN HADIS DA’IF
DALAM ISTINBAT HUKUM’, Jurnal Kajian
Hukum Islam, Vol. VII no.1, 2013,hlm. 129.
[8]Hading,
‘HADIS ḌA’ĪF (SEBAB-SEBAB KE-ḌA’ĪF-AN DAN KE-ḤUJJAH-ANNYA MENURUT ULAMA AHLI HADIS)’, HADIS DA’IF, Vol V, NO.1 (2017), 18.
[9]Mukhlis
Rahmanto, ‘OTORITAS HADIS DAIF DAN PROBLEM EPISTEMOLOGIS HADIS DI DI
MUHAMMADIYAH’, Jurnal TarJih, Vol. 12
No (2014),hlm. 53.
[10]Abdul
Rokhim, ‘HADÎTS DLA’ÎF DAN KEHUJJAHANNYA (Telaah Terhadap Kontroversi Penerapan
Ulama’ Sebagai Sumber Hukum)’, Al-Ihkam,
Vol.IV No.2 (2009), hlm.189.

Komentar
Posting Komentar