PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUALITAS SANAD: SAHIH, HASAN, DAN DA’IF


PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUALITAS SANAD: SAHIH, HASAN, DAN DA’IF
Nama : Zul'Afni Batubara 
Jurusan : Pendidikan Agama Islam 
Motto : Usaha Tidak Akan Menghiyanati Hasil
E_mail : zulafni_24
Hobby : Olahraga

A.    PENDAHULUAN
Hadis yang dihimpun para ulama, di tulisbsecara intensif setelah siedarkannya surat perintah oleah umar bin abdul aziz kepada para gubernurnya khususnya madina. Hadis berkhitdmat dalam mengungkapkan dan mengkritik perawi yang tidak sesuai dengan standar kualitas kesahihan hadis.
Hadis sanad sangat diperlukan karena sanad hadis merupakan kunci kesahihan suatu hadis. Sanad juga berfungsi untuk meyakinkan agar hadis tersebut dapat dipertanggungjawabkann. Oleh karena itu pada makalah ini akan dibahas hadis dari segi kualitas sanadnya.
Dan hadis juga sebagai sumber hukum kedua dalam islam. Hadis memiliki pembagian berdasarkan dari segi kualitasnya, hadis dibagi berdasarkan kualitasnya agar terhindar dari kesalahan dalam membuatnya sebagai sumber hukum agar hukum yang ditetapkan darihadis itu benar-benar kuat sebagai sumber hukumnya. Karna maraknya hadis palsu dikalangan para ulama maka dari itu dibutuhkan kepastian sanad dalam hadis agar tidak ada keraguan didalamnya.
B.   HADIS SAHIH
Hadis shahih sendiri dalam pengertian ulama Hadis yang seperti didefinisikan oleh Ibnu Shalah adalah, Hadis musnad yang sanad-nya muttashil melalui periwayatan yang „adil lagi dhabit dari perawi „adilcsertacdhabit juga sampai akhir sanadnya, tidak syaz dan tidak juga muallal (terkena „illat). Sedangkan Imam an Nawawy mendefinisikan Hadis Shahih, adalah Hadis yang bersambung sanad-nya melalui orang-orang yang „adil serta dhabithdengan tidak syaz dan tidak juga „illat. Ada juga yang mendefinisikan Hadis Shahih itu adalah Hadis musnad yang tersambung sanad-nya melalui perawi yang „adil dan dhabith, dari perawi yang „adil dan thabith pula, yang jalurnya sampai kepada Rasulullah Saw, atau sampai pada akhir sanad-nya baik kepada Sahabat, maupu tabiin, tidak ber-Syaz, tidak juga ber-Illat, serta tidak ditolak, Pendapat ini di dukung oleh Ibnu Kasthir dan Shubhi as Shalih.
Syarat Hadis shahih menurut para ulama Ahlusunnah Wal Jamaah itu dibangun dari yang telah di sebutkan sebelumya di pembahasan definisi Hadis shahih. Secara konseptual Hadis shahih memiliki lima katagori untuk menyatakan Hadis itu diterima dan dikatakan shahih, di antaranya:
a. Hadis harus bersambung sanadnya. yaitu Hadis bersambung  sanad itu adalah Hadis yang tidak terputus jalur sanadnya diantara satu perawi dan perawi di bawahnya, dan Harus dipastiakan guru dan murid saling bertemu.
b. Perawi yang adil, „adil sendiri tidaklah dimaknai seperti yang dipahami secara umum, namun Ilmu Hadis memiliki definisi tersediri dalam memaknai „adil. Adil dalam konsep ilmu Hadis, seperti yang disebutkan oleh ulama Hadis bahwa Keharusan para perawi memenuhi beberapa syarat, seperti seorang perawi harus betul-betul istiqamah terhadap agama, senantiasa melaksanakan perintah agama meninggalkan larangannya, tidak pernah meninggalkan apa saja yang di wajibkan dan  meninggalkan semua perbuatan haram. Jika seorang rawi luput dari salah satu syarat tersebut maka digolongkan dengan rawi yang tidak „adil. Selain itu seorang perawi harus beragama Islam tidak munafiq, tidak zindiq, dan tidak juga fasiq. Seorang perawi juga harus menjaga muruah, yang di maksud dengan muruah adalah prilaku seseorang yang dapat membawa pribadi seseorang itu mengurangi kehormatanya. Seperti buang air kecil sembarangan. Selanjutnya dhabith. Kata dhabith sendiri secara bahasa adalah kokoh, atau suatu yang kuat. Oleh karena itu dhabith dalam ilmu Hadis menyatakan sifat seorang perawi yang memiliki daya ingat yang sempurna terhadap hadis yang diriwayatkannya.
Para ulama Hadis membagi dhabith kepada dua bagian, ada yang disebut dengan dhabith as Shadr, yaitu terpeliharanya periwayatan Hadis dalam ingatan perawi, serta ia dapat menyampaikan kembali kepada orang lain sesuai dengan apa yang ia dengar. dhabith al kitab, ini adalah Bagaimana seorang pewari Hadis betul-betul valid dalam penulisan Hadis ketika ia mendapatkan dari gurunya, serta apa yang telah di tulisnya juga sesuai pada saat di sampaikan kepada muridnya. Selain itu Hadis yang sahih adalah tidak ada pertentangan dengan al Quran atau Hadis yang lebih tinggi derajatnya, istilah ini biasa disebut dengan tidak ber-syaz, Imam Syafii mendefinisikan Syaz, jika ada riwayat yang tsiqah namun ada riwayat lain yang bertentangan dengannya yang lebih rendah keadilan dan ke dhabith-tannya, maka hadis yang bertentangan itu disebut Hadis yang Syaz.
c. Tidak ber-„illat, definisi „Illat sendiri dalam pengertian ilmu hadis adalah sifat tersembunyi atau samar-samar yang mengakibatkan hadis sersebut cacat dalam penerimaanya, kendati terkadang secara lahiriah hadis terlihat tidak ada masalah atau tidak nampak illat-nya, namun terkadang jika diteliti lebih jauh tampak
kecacatannya,Dengan demikian maka yang dimaksud Hadis tidak ber-illat adalah hadis yang didalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan baik dalam sanad hadisnya atau pun di matanya.[1]
Untuk dapat mengetahui keshahihan sanad dalam meneliti hadis, diperlukan acuan.Acuan yang digunakan adalah kaedah kesahihan hadis bila ternyata hadis yang diteliti bukanlah hadis mutawatir.Unsur-unsur kaedah kesahihan hadis adalah sebagai berikut:
1. Sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukharrijnya sampai kepada Nabi.
2. Seluruh periwayat dalam hadis itu harus bersifat adil dan dhabit.
3. Hadis itu, jadi sanad dan matannya, harus terhindar dari kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illat).
Dapat disimpulkan bahwa kaedah kesahihan yang berhubungan dengan sanad ada lima, yaitu
 (1) sanad bersambung,
(2) periwayat bersifat adil,
(3) periwayat bersifat dhabit,
(4) terhindar dari kejanggalan (syuzuz),
(5) terhindar dari cacat (‘illat).
Melihat unsur-unsur kaedah kesahihan hadis tersebut, maka para ulama hadis menilai bahwa hadis yang tidak memenuhi sebagian unsur-unsur di atas, maka dapat dinyatakan bahwahadis itu tidak sahih.[2]
Dalam hal ini penulis merasa tergugah dan terpanggil untuk meneliti tentang living hadis dalam kehidupan terutama dalam penyampaian dakwah di tengah masyarakat. Para mubaligh dalam menyampaikan dakwahnya selalu dikuatkan dengan dalil Al-Quran dan Hadis Rasulullah SAW., hanya terkadang hadis-hadis yang disampaikan masih variatif, adakalanya sudah berkategori shahih, hasan, bahkan masih banyak yang dhaif juga maudhu. Padahal dalam kriteria hadis yang bisa diterima atau diamalkan adalah yang berkualitas shahih dan hasan. Bagaimana sesungguhnya hadis-hadis yang dipakai ulama dalam berdakwah, yang akhirnya apakah sudah sesuai standar pengamalan sebuah hadis yaitu shahih dan hasanJika berkualitas shahih dan hasan maka hadis-hadis tersebut harus diamalkan.[3]
C.   HADIS HASAN
Sebagai contoh penggunaan istilah hasan untuk menyebut hadits sahih, adalah komentar yang dikemukakan oleh al-Syafi’i tentang its terhadap hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Umar. Adapun contoh istilah hadits hasan yang dipakai untuk menyebutkan hadits garib adalah perkataan Ibrahim al-Nakhai (96 H).Ia menyebutkan bahwa para ulama tidak senang ketika mereka berkumpul kemudian ada seseorang yang mentakhrj hadits hasan yang dipunyainya. Terhadap perkataan al-Nakhai ini, al-Sam'ani mengatakanbahwa yang dimaksud oleh al-Nakhai dengan istilah hasan tersebut adalah hadits garib. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa istilah hasan telah dikenal pada masa sebelum al-Tirmidzi, meskipun penggunaannya tidak menunjukkan terhadap kesamaan maksud seperti yang diistilahkan oleh al-Tirmidzi terhadap istilah yang sama. Sebab istilah hasan dipakai untuk menunjukkan hadits sahih dan pada kesempatan yang lain digunakan untuk hadits da`if.
Sementara itu konsepsi al-Tirmidzi tentang istilah hadits hasan. adalah setiap hadits yang diriwayatkan oleh jalur periwayatan (isnad/sanad) yang di dalamnya tidak terdapat perawi yang diduga berbuat bohong, haditsnya tidak Sydz, dan hadits tersebut diriwayatkan tidak hanya melalui jalur periwayatan saja. Lebih lanjut konsepsi tersebut dapat dijelaskan bahwa arti dari setiap hadits yang diriwayatkan pada awalnya mempunyai arti umum yang dapat mencakup keseluruhan macam hadits, kemudian al-Tirmidzi memeberikan beberapa batasan, yaitu;
1. Di dalam sanad hadits tersbut tidak terdapat perawi yang diduga berbuat bohong. Dengan batasan ini, maka dapat diartikan bahwa Mengenal Kitab Sunan Al-Tirmidzi (Hasan Su’aidi)hadits hasan diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah, shadq (jujur) meskipun tidak dabith (mempunyai tingkat hafalan yang kuat). Juga para perawi yang da`if sekalipun dengan syarat tidak termasuk perawi yang diduga berbuat bohong. Oleh karena itu perawi yang hafalannya jelek dan pernah salah dalam meriwayatkan hadits atau perawi yang mastr atau tidak diketahui tentang jarh dan ta'dl-nya atau perawi yang jarh dan ta'dl-nya diperdebatkan dan tidak diketahui mana yang lebih kuat dari perbedaan perawi tersebut, juga perawi yang mudallas dengan cara meriwayatkan hadits dengan lafaz tahammul (periwayatan)'an'anah. Dengan penjelasan tersebut maka perawi yang mempunyai sifat-sifat tersebut tidak menafikan syarat diduga untuk berbuat bohong, akan tetapi dapat berpindah predikatnya dari perawi yang tsiqah menjadi perawi yang tidak diduga berbuat bohong. Dengan demikian maka perawi tersebut kedudukannya berada di bawah para perawi hadits sahih.
2. Hadis yang diriwayatkan tidak termasuk hadits yang sydz atau hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang bertentangan dengan riwyat perawi yang lebih kuat. Oleh karena itu maka hadits hasan disyaratkan terhindar dari adanya pertentangan antara riwayat orang yang tsiqah dengan orang yang lebih tsiqah.
3. Hadis yang diriwayatkan juga diriwayatkan oleh perawi lain,yang dimaksudkan adalah hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur periwayatan yang lain dengan catatan bahwa periwayatan yang lain tersebut kualitasnya jauh lebih unggul. Hal ini sebagaimana juga dikatakan oleh al-Syakhawi. Persyaratanini diterapkan karena diasumsikan bahwa jika banyak riwayatriwayat lain terhadap suatu hadits, maka sudah barang tentu kedudukan hadits tersebut juga kuat. Periwayatan lain ini bukan berarti harus sesuai lafaz atau matan nya akan tetapi cukup hanya dengan persamaan makna dari kandungan hadits yang dimaksud.[4]
Dari sisi kepribadian dan kualitas moralnya, seorang periwayat hadis yang dipercaya harus dimiliki kualitas yang adil yang menurut jumhur ulama hadis adalah seorang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Islam, 2. Baligh, 3. Berakal, 4. Memelihara muru’ah, 5. Tidak berbuat dosa besar, misalnya syirk, 6. Tidak berbuat dosa kecil, 7.Menjahui hal-hal yang dapat merusak muru’ah.[5]
         Adapun hadis hasan lebih rendah tingkatannya dibandingkan hadis sahih karena sifat dhabith perawinya yang kurang baik hafalannya atau catatannya. Oleh karena itu kualitas riwayatyang disampaikan lwbih rendah dari riwayat yang disampaikan perawi yang kuat hafalannya dengan demikian semakin banyak sarat yang tidak terpenuhi mka hdis tersebutbsemakin turun tingkatannya menjadi hadis pada tingkatan hasan.[6] Adapun kelayakan Kelayakan seorang perawi dalam periwayatan hadis ini didasarkan pada dua standar, yaitu segi kualitas pribadi danmoralnya serta kapasitas intelektual.


D.  HADIS DA’IF
Ke-a’īf-an Hadis Menurut Ulama Klasik
Status ke-a’īf-an yang kemungkinan terjadi pada suatu atau beberapa hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. dikarenakan adanya sebab-sebab tertentu yang terkait pada dua hal, yakni pertama; sanad atau jalan periwayatan dan yang kedua; menyangkut matn atau isi berita yang disandarkan kepada Nabi saw.
Cacat yang terkait dengan sanad bisa jadi disebabkan oleh ketiadaan persambungan sanad, ataukah karena seorang periwayat tidak bertemu langsung dengan seorang guru sebagai pembawa berita, atau ketidak „adil-an dan ketidak ābi-an, atau mungkin karena adanya keganjilan (syāż) dan cacat („illat). Adapun jika menyangkut matn, maka kemungkinan penyebabnya adalah sama dengan dua penyebab terakhir bagi sanad sebagaimana telah disebutkan, yaitu keganjilan (syāż) dan cacat („illat), atau karena menyalahi tolok ukur ke-sahih-an matn yang enam sebagaimana dikemukakan oleh al-Bagdādiy dan dikutip oleh M. Syuhudi Ismail. Mengenai perincian selengkapnya terkait jeni-jenis hadis a’īf, berikut akan dikemukakan klasifikasianya sesuai dengan sebab ke-a’īf annya yaitu :
1.   a’īf akibat ketiadaan persambungan sanad
2.   2. a’īf sebab cacat ke-„adil -an.
3.    a’īf sebab cacat dari segi ke-abi-an
Adapun Ibnu Qayyim berpendapat bahwa hadis da’ft tidak dapat dijadikan sebagai sumber ijtihad maupun berfatwa. Karena menurut Qayyim hadis da’if ialah hadisyang tidak batil dan tidak munkar  setra perawinya tidak tertuduh dusta.[7]
Hadis a’īf merupakan salah satu dari jenis pembahagian hadis jika dilihat dari segi kualitasnya. Menurut bahasa, a’īf berarti lemah sebagai lawan dari kata qawīy (kuat), dan ia sinonim dengan kata marī (sakit) yang oleh al-Khaṭṭābiy dipakai istilah saqīm. Digunakannya istilah marī maupun saqm yang juga berarti sakit. Dalam hal ini tentu tidak dalam pengertian haqīqiy, tetapi majāziy sebagaimana dengan istilah sahih yang setimbang dengan فعيل yang berarti فاعل (bermakna pelaku ) dari الصحة yang dimaksudkan sebagai hakekat yang ada pada tubuh, yaitu sehat.[8]
Dari berbagai defrnisi hadis da’if dapat dipilih bahwa hadis da’if adalah hilangnya suatu sayrat dari syarat-syarat suatu hadis yang disebut maqbul. Baik dari segi sanad maupun matannya.Dari segi sanad kedaifan hadis dapat dipilih menjadi dua macam:
1. Karena keterputusan sanad.
2. Karena pada rawi yang menyebabkanhadisnya tertolak.[9]
Yang termasuk dalam Hadîts dla’îf yang disebabkan karena ketidak muttasil-an sanad adalah: Pertama, Hadîts mursal. Menurut Jumhur Muhadîtsin, Hadîts mursal adalah Hadîts yang diriwayatkan oleh seorang tâbi’în baik dia besar atau kecil dari Rasûlullâh saw, baik berupa perkataan, perbuatan dan maupun taqrîr-nya. Akan tetapi sebagian ahli Hadîts mengatakan bahwa Hadîts mursal itu adalah Hadîts yang diriwayatkan oleh seorang tâbi’în besar saja dari Rasûlullâh saw, sedangkan yang dari thâbi’în kecil dikategorikan sebagai Hadîts munqathi’. Kedua, Hadîts munqathi’. Hadîs munqathi’ adalah Hadîts yang dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari segi gugurnya seorang perawi, ia sama dengan Hadîs mursal, hanya saja kalau Hadîs mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat.
Sementara Hadîs munqathi’ tidak ada batasan gugurnya perawi pada tingkatan keberapa, baik gugurnya di awal, di tengah atau di akhir tetap disebut Hadîs munqathi’. Dengan demikian Hadîts mursal dapat dimasukkan kedalam Hadîs munqathi’ sebab gugurnya pada posisi di awal yakni pada tingkatam sahabat. Ketiga, Hadîts Mu’dal. Hadîts mu’dal adalah Hadîts yang sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-turut. Termasuk jenis ini adalah Hadîs yang dimursalkan oleh tâbi’ alaltâbi’în.
Hadîs ini sama bahkan lebih rendah dari Hadîs munqathi’. Sama dari segi keburukan kualitasnya, bila ke munqathi’an-nya lebih. dari satu tempat. Adapun perbedaan antara mu’dal dengan munqathi’ adalah kalau mu’dal sanadnya gugur dua atau lebih secara berurutan, sedangkan pada munqathi’ sanadnya yang gugur satu atau lebih tidak secara berurutan. Ibnu Shalah mengatakan bahwa setiap Hadîts mu’dal itu termasuk munqathi’, akan tetapi tidak setiap munqathi’ itu mu’dal. Keempat, Hadîts Mudallas. Secara etimologi kata tadlis berasal dari akar kata al-dalas yang berarti al-dzulmah (kedzaliman). Tadlis dalam jual beli berarti menyembunyikan aib barang dari pembelinya. Dari sinilah diambil pengertian tadlis dalam sanad. Karena memiliki kesamaan alasan, yakni menyembunyikan sesuatu dengan cara diam tanpa menyebutkannya.[10]


















DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad, ‘SEJARAH DAN KEDUDUKAN SANAD DALAM HADIS NABI’, TAHDIS Volume 7 Nomor 1 Tahun 2016, Volume 7 N (2016), 60
Ardiansyah, ‘HADIS DA’IF SEBAGAI DALIL BERAMAL IBADAH DALAM PERSPEKTIF ULAMA’, Analytica Islamica, Vol.9 no. (2012), 93
Arifin, Johar, ‘“Pendekatan Ulama Hadis Dan Ulama Fiqh Dalam Menelaah Kontroversial Hadis’’”’, JURNAL USHULUDDIN, Vol. XXII (2014), hlm. 148
Febriyarni, Busra, ‘Analisis Hadis-Hadis Yang Disampaikan Mubaligh Di Masjid Agung Baitul Makmur Rejang Lebong’, |Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, 2018, Vol. 3, No (2018), 41
Hading, ‘HADIS A’ĪF (SEBAB-SEBAB KE-A’ĪF-AN DAN KE-UJJAH-ANNYA MENURUT ULAMA AHLI HADIS)’, HADIS DA’IF, Vol V, NO. (2017), 18
Idris, Abdul Fatah, ‘PEMIKIRAN IBNU QAYYIM AL JAWZIYYAH TENTANG PENGGUNAAN HADIS DA’IF DALAM ISTINBAT HUKUM’, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. VII n (2013), 129
Nasution, Al-Hafidh, ‘Kritik Konsep Hadis Shahih Dalam Perspektif Syi’ah’, Jurnal: Penelitian Medan Agama, Vol. 9, No (2018), hlm. 247-280
RAHMANTO, MUKHLIS, ‘OTORITAS HADIS DAIF DAN PROBLEM EPISTEMOLOGIS HADIS DI DI MUHAMMADIYAH’, Jurnal TarJih, Vol. 12 No (2014), 53
Rokhim, Abdul, ‘HADÎTS DLA’ÎF DAN KEHUJJAHANNYA (Telaah Terhadap Kontroversi Penerapan Ulama’ Sebagai Sumber Hukum)’, Al-Ahkam, Vol.V No. (2009), 189
Su’aidi, Hasan, ‘MENGENAL KITAB SUNAN AL-TIRMIDZI (KITAB HADITS HASAN)’, RELIGIA Vol. 13, No. 1, April 2010, Vol. 13, N (2010), 134–35






[1]Al-Hafidh Nasution, ‘Kritik Konsep Hadis Shahih Dalam Perspektif Syi’ah’, Jurnal: Penelitian Medan Agama, Vol. 9, No. 2. (2018), hlm. 247-280.
[2]Johar Arifin, “Pendekatan Ulama Hadis Dan Ulama Fiqh Dalam Menelaah Kontroversial Hadis’’, JURNAL USHULUDDIN, Vol. XXII. No.2 (2014), hlm. 148.
[3]Busra Febriyarni, ‘Analisis Hadis-Hadis Yang Disampaikan Mubaligh Di Masjid Agung Baitul Makmur Rejang Lebong’, |Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, Vol. 3, No. 1, 2018,  hlm. 41.
[4]Hasan Su’aidi, ‘MENGENAL KITAB SUNAN AL-TIRMIDZI (KITAB HADITS HASAN)’, RELIGIA Vol. 13, No. 1, 2010, hlm., 134–35.
[5]Muhammad Ali, ‘SEJARAH DAN KEDUDUKAN SANAD DALAM HADIS NABI’, TAHDIS Voi.7 No.1,2016,hlm. 60.
[6]Ardiansyah, ‘HADIS DA’IF SEBAGAI DALIL BERAMAL IBADAH DALAM PERSPEKTIF ULAMA’, Analytica Islamica, Vol.9 No. 1, 2012,hlm.  93.
[7]Abdul Fatah Idris, ‘PEMIKIRAN IBNU QAYYIM AL JAWZIYYAH TENTANG PENGGUNAAN HADIS DA’IF DALAM ISTINBAT HUKUM’, Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. VII no.1, 2013,hlm. 129.
[8]Hading, ‘HADIS A’ĪF (SEBAB-SEBAB KE-A’ĪF-AN DAN KE-UJJAH-ANNYA MENURUT ULAMA AHLI HADIS)’, HADIS DA’IF, Vol V, NO.1 (2017), 18.
[9]Mukhlis Rahmanto, ‘OTORITAS HADIS DAIF DAN PROBLEM EPISTEMOLOGIS HADIS DI DI MUHAMMADIYAH’, Jurnal TarJih, Vol. 12 No (2014),hlm. 53.
[10]Abdul Rokhim, ‘HADÎTS DLA’ÎF DAN KEHUJJAHANNYA (Telaah Terhadap Kontroversi Penerapan Ulama’ Sebagai Sumber Hukum)’, Al-Ihkam, Vol.IV No.2 (2009), hlm.189.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ILMU AL- JARH WA TA’DIL: PENGERETIAN, OBJEK DAN LAFAZ LAFAZ SERTA MARATIB AL- JARH WA TA’DIL

TAFSIR AYAT-AYAT IBADAH TENTANG WUDHU, TAYAMMUM DAN MANDI