PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUANTITAS SANAD, MUTAWATIR, MASYHUR, DAN AHAD


PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUANTITAS SANAD, MUTAWATIR, MASYHUR, DAN AHAD

Nama : Zul'Afni Batubara 
Jurusan : Pendidikan Agama Islam 
Fb : Zulafni Batubara 
E_mail : zulafni_24
Hobby : Olahraga 
Motto : Usaha Tidak AkAN Menghiyanati Hasil
A.   PENDAHULUAN
Hadis sebagai sumber asasi dan sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Kedudukannya sebagai sumber setelah Alquran adalah disebabkan karena kedudukannya sebagai penafsir, dan pedoman pelaksanaan yang otentik terhadap Alquran.Ia menafsirkan dan menjelaskan ketentuan yang masih dalam garis besar atau membatasi keumuman, atau menyusuli apa yang disebut oleh Alquran. Di samping itu hadis-hadis Nabi dalam kaitannya dengan Alquran mempunyai fungsi menetapkan dan memperkuat hukum- hukum yang telah ditentukan oleh Alquran. Maka dalam hal ini kedua- duanya sama-sama menjadi sumber hukum, begitu pula hadis memberikan perincian perincian dan penafsiran ayat-ayat Alquran yang masih global dan lain sebagainya. Hadis yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum sesuatu perbuatan haruslah diyakini benar-benar akan kebenarannya. Karena kita tidak men- dengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad saw. Maka jalan penyampaian hadis itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadis tersebut. Kita telah memahami bahwa sejumlah hadis diriwayatkan oleh beberapa orang sahabat dan tabiin, namun sejumlah hadis lainnya hanya dinukilkan oleh seorang sahabat, kemudian diteruskan juga oleh seorang tabiin, yang hanya mempunyai seorang murid yang meriwayatkan hadis. Oleh sebab itu perlu melihat keberadaan hadis-hadis tersebut dinilai berdasarkan jumlah perawinya.
B.   HADIS DARI SEGI KUANTITAS SANAD
Dari segi sanad, hadis di atas berkualitas shahih karena sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang dhabit dan adil. Sedangkan dari segi matan, ia akan dibicarakan dalam tulisan ini. Tentunya berbicara tentang matan hadis sama artinya dengan berbicara tentang syarah hadis. Ini karena matan membutuhkan penjelasan supaya pembaca bisa memahami dengan baik apa isi kandungan sebuah hadis. Ditinjau dari segi kesahihan riwayat hadis yang ditawarkan oleh Ulama’ hadis seperti ketersambungan sanad (ittishâl al-Sanad), keadilan perawi (adâlah al-Râwî), kedhabitan perawi (dhabth al-Râwî), tidak ada illat dan tidak syadz, maka hadis-hadis diatas berkualitas S}ah}ih. Kelima syarat itu merupakan syarat hadits shahih dalam kaidah mayor secara umum. Sedangkan kaidah minor secara khusus bisa masuk ke dalamnya beberapa persyaratan lagi. Apabila masing-masing unsur kaidah mayor bagi kesahihan sanad disertakan kaidah-kaidah minornya, maka dapat dikemukakan sebagai berikut:
Unsur kaidah mayor yang pertama:
1. Sanad bersambung, mengandung unsur kaidah minor: (a). Muttashil (bersambung), (b). Marfû’ (bersandar kepada Nabi saw), (c). Mah}fûzh (terhindar dari syuyu>y) dan (d). Bukan mu’al (bercacat).
2. periwayat bersifat adil, mengandung unsur-unsur kaidah minor: (a). Beragama Islam (b). Mukallaf (balig dan berakal sehat), (c). Melaksanakan ketentuan agama Islam dan (d). Memelihara murû’ah (adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan).
3. periwayat bersifat d}abit dan atau ad}bat}, mengandung unsur-unsur kaidah minor: (a). Hafal dengan baik hadits yang diriwayatkannya, (b). Mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadits yang dihafalnya kepada orang lain. (c). Terhindar dari syuyûz dan (d). Terhindar dari illat.
Dengan kriteria di atas, hadis tentang lima hal yang termasuk fithrah adalah hadis yang berkualitas sahih. Itulah sebabnya ia diriwayatkan oleh Imam Bukhârî (w. 870 M/256 H), Muslim (w. 875 M/261 H), Tirmidzî (w. 892 M/279 H), Abû Dâwud (w. 889 M/275 H), Ibnu Majah (w. 887 M/273 H), Ahmad (w. 855 M/241), Sunan al-Dârimî (w. 255 H), Muwat}t}aMâlik (w. 795 M/179 H).[1]
Dengan demikian kualitas hadis dilihat dari sanad nya karna hadis dapat dianggap shahih dilihat dari sanadnya.
Karenanya, seandainya umat Islam tidak memiliki sistem sanad, tentulah
ajaran-ajaran Rasulullah saw yang terdapat dalam hadis-hadis beliau sudah mengalami nasib seperti ajaran para Nabi sebelumnya. Sanad-lah yang menjadi tonggak dalam pemeliharaan kelanggengan dan kemurnian sumber kedua ajaran Islam. Disinilah letak nilai dan urgensi sanad.
Mengingat demikian tinggi nilai dan urgensi sanad, maka para ulama
menganggap pemakaian sanad merupakan simbol dari umat Islam, seperti dikatakan oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H) bahwa “Sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu”n(Syuhudi Ismail: 1992, 24). Abdullah ibn Mubarak (w. 181 H ) menyatakan “Sanad merupakan bagian dari umat Islam. Tanpa adanya sanad, setiap orang dapat mengatakan apapun yang dikehendakinya”.
Sementara Sufyan al-Tsawri menyatakan bahwa sanad merupakan senjata bagi umat Islam, jika tidak ada senjata di tangan mereka, maka bagaimana mereka akan berperang. (Nuruddin ‘Itr: 1988, 345).Keistimewaan Islam dalam penggunaan sistem sanad ini juga diakui oleh Sprenger, orientalis Jerman, seperti ditulisnya pada pengantar Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al- Shahabah karya Ibn Hajar al-‘Asqalani berkata “Tidak ada satupun dari bangsa-bangsa terdahulu dan juga pada bangsa-bangsa sekarang yang menghasilkan karya seperti Ilmu Asma’ Rijal (Ilmu yang memuat biografi para perawi hadis) seperti disusun oleh umat Islam dalam ilmu yang agung ini. Kriteria Keshahihan Sanad Ketika hadis telah menyebar dan pemalsuan yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw semakin banyak, para ulama menganggap telah menjadi kewajiban mereka untuk melakukan penelitian dan penilaian terhadap hadis. Jadi keshahihan hadis mencakup kedua unsur pembentuk hadistersebut, sanad dan matan. Kaedah keshahihan sanad hadis merupakan bahagian dari kaedah keshahihanhadis yang digunakan ulama dalam mensyaratkan penerimaan suatu hadis.[2] Dengan demikian wajib bagimpara ulma untuk meneliti sanad hadis untuk mengetahuikeshahihannya sebuah hadis.
Sistem seleksi kualitas hadis-hadis yang terbukukan dalam kitab hadis standar misalnya kitab hadis  (Kutub al-Tis’ah), pada umumnya dioptimalkan pada perimbangan antara kondisi lahir sanad sesuai dengan syarat formal dan data kesejahteraan matan dari gejala syadh (janggal) dan illat (cacat) yang mencederai. Namun kondisi tersebut tidak bersifat mutlak, sehingga muhaddisin serta merta menerima hipotesa kerja “ tidak berlakukeharusan bahwa sanad yang sahih pasti diikuti oleh matn yang sahih pula, atau sanad hadis yang sahih pasti diimbangi dengan matn yang sahih pula”. Hal ini berlaku sepanjang rijal al-hadis yang menjadi pendukung mata rantai sanad terdiri dari periwayat yang thiqah semua. Hadis yang sanad-nya sahih menurut mayoritas umat Islam, oleh sebagian ulama hadis matn-nya tidak sahih misalnya Muhammad al-Ghazali ulama Mesir abad 20 telah men-klaim bahwa terdapat hadis-hadis yang sanad-nya sahih tetapi matn-nya tidak sahih (d}a’if). Hal ini dapat ditemuai dalam kitabJami’ al-Sahih  Imam al-Bukhari antara lain hadisperistiwa isra’ mi’raj Nabi saw dan nabi Musa menampar mata malaikat.[3]

C.   HADIS DARI SEGI KUANTITAS MUTAWATIR
Kategori hadis mutawatir adalah berita yangbersumber dari nabi, disampaikan oleh sejumlah periwayat yang berjumlah besar (banyak), yang bila ditinjau dari sudut pandang logika sehat, mustahil mereka telah bersepakat sebelumnya untuk berbuat dusta. Keadaan periwayat ini terus-menerus demikian (banyak) sejak tabaqat yang pertama hingga tabaqat yang Terakhir. Ditinjau dari segi operasionalnya atau dari segi status penggunaannya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan norma agama, maka hadis yang termasuk kategori mutawatir diyakini memiliki kedudukan yang meyakinkan atau qath’i.[4]
          Dengan demikian dari segistatusnya hadis mutawatir dapat dikatakan meyakinkan bila digunakan untuk masalah agama dan norma.
Kererangan di atas menggambarkan dengan jelas, Imam Ahmad bin Hanbal mengakui ke-hujjah-an al-sunnah dengan tegas dan jelas, dengan meng-golongkan orang-orang yang menolak al-sunnah sebagai orang-orang sesat. Imam Ahmad bin Hanbal ber-hujjah dengan hadis mutawatir.[5]
Dengan demikian tidak dapat dikategorikan dalam hadis Mutawatirsegala berita yang diriwayatkan dengantidak bersandar pada pan-caindera, jugasegala berita yang diriwayatkan olehorang banyak tetapi mungkin merekabersepakat mengadakan berita-berita itusecara dusta. Hadis Mutawatir betul-betul bersumber dari Nabi s.a.w. Hadis mutawatir sama dengan Al-Quran dalam hal keutentikannya karena keduanyaqat’iul wurud (sesuatu yang pasti datangnya). Dan para ulama sepakat bahwa hadis Mutawatir wajib diamalkan dalam seluruh aspek, termasuk dalam bidang akidah.[6]
Dapat dipahami bahwa hadis mutawatir dapat dikatakan benar karena bersumber dari Rasulullah SAW. Dan hadis mutawatir ini wajib dilaksanakan dalam kehidupan. Dan hadis ini datangnya bersifat pasti.

D.  HADIS DARI SEGI KUNTITAS MASYHUR
Hadis masyhur menurut istilah ialah hadis yang pada tingkatan (thabaqat) periwayatpertama dan kedua terdiri dari orang seorang; kemudian pada tingkatan(thabaqat) sesudahnya barulah tersebar luas, yang disampaikan oleh orangbanyak yang mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.Ulama ushul merumuskan, hadis ahad ialah hadis yang diriwayatkan sahabatyang bilangannya tidak mencapai mutawatir ia mutawair sesudah padatingkatan sahabat, dan sesudah pada tingkatan sesudahnya.Dilihat dari segi kemashuran suatu hadis, hadis ahad dapat dibedakanatas :
a. Yang masyhur di kalangan ulama dan orang banyak.
b. Yang masyhur di kalangan ulama saja.
c. Yang masyhur di kalangan orang banyak (awam) saja.[7]

E.   HADIS DARI SEGI KUANTITAS AHAD
Hadis ahad tidak bisa menetapkan perkara-perkara yang berkaitan dengan akidah. Kedua, adanya beberapa kaidah menyesatkan di sebagian mazhab yang diikuti oleh kaum muslimin yaitu: mendahulukan qiyas (analogi) daripada Hadis ahad, menolak Hadis ahad jika bertentangan dengan kaidah madhab, menolak Hadis yang mengandung hukum tambahan atas nash al-Quran dengan anggapan bahwa hal tersebut berarti menghapus hukum yang terdapat di dalam al-Quran, sedangkan al-Sunnah tidak bisa menghapus al-Quran, mendahulukan dalil umum di atas dalil khusus ketika terjadi pertentangan, atau melarang untuk mengkhususkan ayat-ayat umum di dalam al-Quran dengan Hadis ahad, lebih mendahulukan amal (perbuatan ) penduduk madinah daripada Hadis shahih. Ketiga, menjadikan sikap taqlid (meniru tanpa ilmu) sebagai pegangan dan bagian dari agama Islam.[8]
          Dapat dipahami bahwa hadis ahad tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum karena karenna ahad lebih mendahulukan qiyas.
Menurut sebagian ularna, status wurud hadis abad adalah zbanni. Mereka beralasan bahwa hadis ahad diriwayatkan oleh periwayat yang jumlahnya tidak menimbulkan keyakinan yang pasti kebenarannya. Dalam pada itu mereka menyatakan bahwa hadis abad tidak dapat dijadikan dalil dalam menetapkan aqidah sebab aqidah berkenaan dengan keyakinan dan sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan haruslah berdasarkan dalil yang berstatus qatb 'i. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hadis ahad yang berkualitassahih berstatus qat'i al-wumd.[9]
Hadis abad adalah hadis yang para perawinya belum sampai ke jenjang mutawatir, baik  iriwayatkan oleh seorang ataupun empat orang. Hadis ini bisa diklasifikasikan berdasarkan jumlah perawinya, mejadi tiga: (1) Gbarib; hadis yang jumlah perawinya terdiri dari dari satu orang pada level manapun. (2)hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang, tetapi kurang dari empat orang, bisa diriwayatkan oleh dua atau tiga orang, meski berada dalam satu level.[10]

KESIMPULAN
Hadis dilihat dari segi jumlah riwayat, menurut ulama hadis pada umumnya, dibagi menjadi dua, Mutawatir dan Ahad. Sehingga hadis Masyhur termasuk bagian dari hadis Ahad. Hadis Mutawatir dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok Mutawatir Lafzhi dan Mutawatir Ma’nawi. Hanya sejumlah kecil hadis- hadis Mutawatir Lafzhi (artinya seluruh perawi menggunakan ungkapan yang sama dalam menuturkan hadis tersebut) adapun Mutawatir Ma’nawi (para perawi hanya meriwayatkan hadis tersebut dengan mengambil maknanya saja, sedangkan ungkapan kata-katanya berasal dari perawi itu sendiri). Dan cukup banyak jumlahnya. Hadis Ahad adalah hadis yang perawinya tidak mencapai, terkadang mendekati, jumlah mutawatir. Hadis Ahad terbagi pada hadis Masyhur, Azis dan Gharib. Meskipun telah jelas dalil- dalil yang menunjukkan bahwa hadis (sunnah) itu merupakan salah satu sumber hukum Islam, akan tetapi ada juga segolongan kecil dari umat Islam yang menolak terhadap hadis sebagai sumber Syariat Islam. Ada golongan yang menolak hadis seluruhnya, baik yang Mutawatir maupun Ahad, ada golongan yang menolak hadis, jika hadis tersebut ada persamaannya dengan Alquran. Dan golongan yang menolak hadis Ahad sebagai hujjah. Artinya, mereka masih menerima hadis Mutawatir, dan yang mereka tolak hadis Ahad. Dalam masalah aqidah, ulama berbeda pendapat tentang kehujahan hadis Ahad. Untuk masalah-masalah non aqidah, hadis Ahad yang shahih di- sepakati sebagai hujjah.





























DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz, ‘KONSEP DAN APLIKASI HADIS’, Jurnal Tarjih, vol 7 no. (2004), 87
Alifuddin, Muhammad, ‘HADIS DAN KHABAR AHAD DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD AL-GHAZALI’, Shautut Tarbiyah, Vol. 17 No (2011), 80
Anshori, Muhammad, ‘SUNNAH-SUNNAH FITHRAH’, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al -QURAN DAN HADIS, Vol. 15,No (2014), 185–86
Danarta, Agung, ‘PERKEMBANGAPENM IKIRAHN ADISD I INDONESIA SEBUAHU PAYAP EMETAAN’, JURNATLA RJIEHD, Vol. 7 No. (2004), 74
Hamang, M. Nasri, ‘KEHUJAHAN HADIS AHAD MENURUT MAZHAB SUNI DAN SYI’AH’, AL-FIKR, Vol. 14 No (2010), 411
———, ‘KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB EMPAT’, Jurnal Hukum Diktum, VOL. 9, No (2011), 97
Mujibatun, Siti, ‘PARADIGMA ULAMA DALAM MENENTUKAN KUALITAS HADIS DAN IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN UMAT ISLAM’, ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14 (2014), 202
Nadhiran, Hedhri, ‘KRITIK SANAD HADIS: Tela’ah Metodologis’, Jurnal Ilmu Agama, Vol. 15, N (2014), 4
Syawqi, Abdul Haq, ‘PENGUJIAN HADIS AHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM’, Jurnal Studi Islam, vOL. 5 nO. (2018), 130
Zuhri, Saifuddin, ‘TERHADAP HADIS AHAD’, SUHUF, Vol. 20, N (2008), 57



[1]Muhammad Anshori, ‘SUNNAH-SUNNAH FITHRAH’, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al -QURAN DAN HADIS, Vol. 15,No 1 (2014), hlm.185–86.
[2]Hedhri Nadhiran, ‘KRITIK SANAD HADIS: Tela’ah Metodologis’, Jurnal Ilmu Agama, Vol. 15, No. 1(2014),hlm. 4.
[3]Siti Mujibatun, ‘PARADIGMA ULAMA DALAM MENENTUKAN KUALITAS HADIS DAN IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN UMAT ISLAM’, ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 14 NO. 1 (2014), hlm. 202.
[4]Muhammad Alifuddin, ‘HADIS DAN KHABAR AHAD DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD AL-GHAZALI’, Shautut Tarbiyah, Vol. 17 No12  (2011),hlm. 80.
[5]M. Nasri Hamang, ‘KEHUJJAHAN HADIS MENURUT IMAM MAZHAB EMPAT’, Jurnal Hukum Diktum, VOL. 9, No. 1 (2011),hlm. 97.
[6] Saifuddin Zuhri, ‘TERHADAP HADIS AHAD’, SUHUF, Vol. 20, No. 1 (2008),hlm. 57.
[7]M. Nasri Hamang, ‘KEHUJAHAN HADIS AHAD MENURUT MAZHAB SUNI DAN SYI’AH’, AL-FIKR, Vol. 14 No. 3 (2010),hlm. 411.
[8]Abdul Haq Syawqi, ‘PENGUJIAN HADIS AHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM’, Jurnal Studi Islam,VOL. 5 NO.2 (2018), hlm.130.
[9]Agung Danarta, ‘PERKEMBANGAPENM IKIRAHN ADISD I INDONESIA SEBUAHU PAYAP EMETAAN’, JURNATLA RJIEHD, Vol. 7 No. 1 (2004), hlm.74.
[10]Hafidz Abdurrahman, ‘KONSEP DAN APLIKASI HADIS’, Jurnal Tarjih, Vol 7 No. 1. (2004), hlm. 87.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ILMU AL- JARH WA TA’DIL: PENGERETIAN, OBJEK DAN LAFAZ LAFAZ SERTA MARATIB AL- JARH WA TA’DIL