SEJARAH HADIS PRAKODIFIKASI: HADIS PADA PERIODE RASUL, SAHABAT DAN TABI’IN
SEJARAH HADIS PRAKODIFIKASI:
HADIS PADA PERIODE RASUL, SAHABAT DAN TABI’IN
A. PENDAHULUAN
Sebagai
sumber hukum islam yang memiliki kedudukan kedua setelah Alquran.tentu hadis
telah melewati berbagai macam proses dan telah melewati masa yang begitu
panjang sejak zaman Nabi hingga sekarang. Sebagai ummat yang beragama Islam
tentunya kita harus mandalami dan mempelajari tentang pedoman kita ini. Agar
kita tahutentang sejarah dan hadis digunakan sebagai sumber hukum dalam agama
Islam dan dijadikan sebagai pedoman yang ditinggalkan nabi Muhammad SAW. Pada
ummat Muslim.
Sepeninggal
Nabi Muhammad Rasulullah SAW, berbagai problema mendasar muncul di
tengah-tengah komunitas Islam dan Hadis dilahirkan atau disabdakan oleh Rasulullah SAW. sejak
zaman kenabian Hingga penghujung abad pertama hijriah. Dengan posisi Nabi yang
bertugas menyampaikan ajaran islam kepada umat manusia dan pada sata fase
keNabian menggelitik para pengkaji hadis untuk menyibak misteri dan ada empat pendapat yang bervariasi dalam
rangka mengkompromikan dua kelompok hadis yang terlihat saling bertentangan
dalam hal penulisan hadis.
Pada
makalah ini akan di bahas tentang Hadis pada tiga fase yaitu hadis pada masa
Rasulullah SAW, hadis pada masa Sahabat dan hadis pada masa Thabi’n. Sehingga
menambah pemahaman bagi kita tentangbsituasi dan kondisi hadis pada tiga fase
ini. Dan kita dapat mengetahui bagaimanakah kekuatan Hadis pada tiga fase ini
sehingga dijadikan sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran dan
apa kelebihan-kelebihan yang terkamndung di dalam hadis.
B. HADIS PADA PERIODE RASULULLAH SAW
Hadis merupakan sumber kedua dalam Islam setelah Alquran.
Pada masa Rasulullah, hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum banyak
ditulis, bahkan di awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat karena
khawatir bercampur dengan Alquran. Para sahabat merupakan penyambung lidah
Rasulullah. Banyak diantara mereka yang mendengar berbagai hal secara langsung
dari Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab secara bergantian dengan tetangganya
menghadiri majlis nabi Saw. Namun banyak diantara sahabat yang tidak menulisnya
karena disamping ada larangan, alat-alat pendukung tulis menulis pada saat itu
masih belum banyak, dan yang paling utama adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih
belum melek tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka.
Pada masa khulafaur Rasyidin,
sebenarnya sudah mulai tampak kebutuhan akan hadis, terutama pada
masalah-masalah yang khalifah sendiri tidak tahu dan belum mendapatkannya
secara langsung dari Rasulullah. Namun hal itu masih sangat minim sekali, dan
hanya terbatas pada ketidaktahuan sahabat pada satu kasus yang pernah ada di
masa Rasulullah, tapi kemudian diselesaikan oleh sahabat yang lain yang menyaksikannya
secara langsung pada masa Rasul. Perkembangan Islam yang semakin pesat pada
masa Umar bin Khattab membuat perkembangan meniscayakan perlunya tenaga pengajar
agama, penyambung lidah Rasulullah serta penyampai petuah-petuah Rasulullah
mengenai berbagai hal yang terkait
dengan kehidupan manusia.Bahkan setelah terbunuhnya
khalifah ketiga, Utsman bin Affan,kebutuhan akan hadis semakin meningkat. Para
sahabat semakin berhatihatidalam menerima hadis karena telah muncul benih-benih
hadis palsupada masa Ali bin Abi Thalib dan semakin kuat ketika masa Muawiyah
binAbu Sufyan. Misalnya hadis “Ali sebaik-baik manusia, barang
siapameragukannya maka dia kafir.” Hadis digunakan oleh kelompok pembelaAli
(Syi’ah). Kemudian salah satu contoh lai adalah “Sosok yang berkarakter
jujur ada tiga: aku, Jibril, dan Muawiyyah” yang digunakansebagai legitimasi kekuasaan
dinasti baru setelah khalifah Ali, yakni dinastiUmayyah dengan Muawiyah sebagai
khalifahnya. Kaum
Rafidhah Syi’ahyang merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan golongan yang banyak
memalsukan hadits. Al-Kholili dalam kitab Irsyad mengatakanbahwa kaum
Rafidhi talah memalsukan lebih dari 13.000 hadis yang isinya.Pada periode keempat, yakni hadis pada
masa Intisyar riwayah il alamshar(penyampaian hadis ke berbagai wilayah)
semakin banyak sahabatkecil dan tabiin yang menjadi pengajar agama Islam dan
penyambung lidahRasulullah, sehingga para pencari hadis dan cerita-cerita yang
berkaitdengan Rasulullah dicari dan dikumpulkan. Hanya saja pengumpulannya baru
sebatas dilakukan oleh para individu, dan belum ada kordinasi denganpihak para
khalifah Umayyah.Di sisi lain, masa-masa ini sebenarnya merupakan masa-masa
rawanhadis palsu, karena khawarij, Syi’ah senantiasa merongrong kekuasaan
baniUmayyah, sedangkan kelompok bani Umayyah juga membutuhkan legitimasi untuk
kekuasaannya agar diakui sehingga hadis palsu di sini tidak terelakkan. Dalam
bahasa lain, pada dasarnya hadis palsu dipengaruhi oleh situasi politik
kekuasaan yang berlangsung pada itu.[1]
Secara leksikal, kata Hadis bermakna
al-Khabar (berita), al-jadid (yang baru) atau setiap apa yang
diceritakan baik pembicaraan atau khabar. Bila kata Hadis diperhadapkan pada
etimologi (asal-usul kata), lafaz حدث dapat berarti al-kalam (pembicaraan),
al waq’u (kejadian), Ibtada’a (mengadakan), al-sabab (sebab), rawa
(meriwayatkan) dan al-qadim (lawan dari yang lama).Dalam pendekatan
Fiqh al-Lughah, secara mikro Hadis hanya terbatas sebagai suatu berita,
pembicaraan dan sesuatu yang baru. Akan tetapi dalam tinjauan makro, kata حدث sebagai kata dasar memiliki cakupan
makna yang luas sehingga keterkaitan makna kata itu membuat pengertian piramida
terbalik.
Secara terminologi, ulama Hadis
mendefenisikan sebagai segala perkataan, perbuatan dan taqrir yang
disandarkan kepada Nabi saw baik sebelum atau sesudah diutusny. Sedangkan ulama
usul membatasi sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan (taqrir)
yang dinisbatkan kepada Nabi saw yang berkaitan dengan segala hukum syara’. Bila
melihat sisi perbedaan antara pendefenisian ulama Hadis dan usul tersebut,
tampaknya ulama usul menitik beratkan obyek hukum dari Hadis itu yakni
berkaitan dengan hukum syara’ tanpa melihat latar belakang dan keterkaitan
status kenabian Muhammad saw. sementara ulama Hadis melihat pengertian
terminologi Hadis dalam peran Rasulullah saw, baik sebelum atau sesudah diutusnya.
Tinjauan umum makna Hadis ini dibatasi dengan catatan bahwa bila
hanya disebut Hadis, maka dimaksudkan sebagai segala
perkataan, perbuatan dan taqrir setelah kenabian.Terlepas dari perbedaan
sudut tinjauan kedua kelompok ulama tersebut, baik persepsi terminologi maupun
permulaan penggunannya, persepsi yang sama adalah bahwa Hadis menyangkut
perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi saw. adapun perbedaan pandangan
tentang realita keberadaannya, tidak mengurangi makna Hadis itu sendiri.[2]
Dalam
sejarah cara Rasulullah melaksanakan suatu ibadah yang dinukil kepada umatnya
dengan amaliah yang mutawâtir pula. Indikasi sebuah sunnah dinyatakan mutawâtir
adalah Nabi melaksanakan suatu peribadatan dengan para sahabat, kemudian
para sahabat melaksanakannya. Hal yang sama dilakukan pula para tâbi‘în.
Jika dari segi penukilan matn atau redaksinya tidak mutawâtir namun
pelaksanaannya mutawâtir, maka tetap dinamakan sunnah.[3]
Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, penulisan
hadis bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadis-hadis yang
ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in memungkinkan
ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang meriwayatkannya
sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari Nabi (yang disebut
dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang hanya sesuai makna atau
maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma'na), sedang redaksinya
tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan bahwa di
antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi
al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau
huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW. Dengan
demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya), lebih
banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para
sahabat untuk menulis hadits-nya, dan menurut penulis karakter orang-orang Arab
sangat kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan
Alquran. Dengan
kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi
terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan. Sepeninggal nabi para
sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis, agar menjaga
kemurnian Alquran tidak
tercampurbaurkan dengan hadis dan untuk menjaga orisinalitas hadis terssebut.[4]
C. HADIS PADA PERIODE NABI
Hadis Nabi telah ada sejak awal
perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadis
Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping Alquran. "Hadis atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala
sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan,
perbuatan, atau taqrir-nya. Hadis, sebagai sumber ajaran Islam setelah Alquran, sejarah perjalanan hadis tidak terpisahkan dari sejarah
perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat
ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan
pendekatan khusus".
Pada zaman Nabi, hadis diterima dengan
mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis
oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para
sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para
sahabat untuk menulis hadis beliau. ..... Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah
terjadi penulisan hadis. misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan
memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk
Islam. Sejumlah sahabat Nabi telah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah bin
'Amr bin al-'As (w.65 H/685 M), Abdullah bin 'Abbas (w.68 H/687 M), 'Ali bin
Abi Thalib (w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin
Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa' (w.86 H). Walaupun
demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan
para sahabat tersebut.
Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar,
penulisan hadis bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian,
hadis-hadis yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para
tabi'in memungkinkan ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada
yang meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari
Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang hanya sesuai
makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi al-ma'na), sedang
redaksinya tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain al-Munawar, mengatakan
bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat berpegang kepada periwayatan bi
al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau
huruf yang dikurangi atau ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW.
Hadis Nabi yang berkembang pada zaman
Nabi (sumber aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara
tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis
hadis-nya, dan menurut penulis karakter orang-orang Arab sangat kuat hafalannya
dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur dengan Alquran. Dengan
kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadis Nabi
terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.
Pada
realitas kehidupan masyarakat muslim, perkembangan hadits Nabi secara
kuantitatif cukup banyak sekali, walaupun Fazlur Rahman mengatakan
"hadis-hadis Nabi memang sedikit jumlahnya". Selain perkembangan
hadits yang cukup banyak, juga banyak istilah-istilah yang digunakan. Pada
masyarakat umum yang dikenal adalah Hadits dan as-Sunnah, sedangkan pada
kelompok tertentu, dikenal istilah Khabar dan Atsar. Untuk itu, pada pembahasan
makalah ini, pemakalah akan menyoroti : (1) pengertian Hadis, dan perbedaan
Hadis dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar, (2) perbedaan as-Sunnah dengan
Bid'ah, (3) cara penyampaian Hadits pada masa Nabi.[5]
Tidak
dipungkiri bahwa Nabi Muhammad hadir di tengah komunitas buta huruf. Pada fase
awal keNabian di Mekkah, terhitung hanya 17 orang yang mengenal budaya
tulis-menulis. Madinah pun demikian, budaya tulis-menlulis belum dikenal luas
oleh masyarakat Medinah terkecuali sebagian kaum yahudi. Nabi sangat menyadari
urgensi tulis menulis sehingga ia menyuarakan agenda pembelajaran dan menuai
hasil memuaskan. Nabi mengangkat 40 sahabat sebegai sekertaris yang bertugas
mencatat setiap kali wahyu diturunkan, dan menunjuk beberapa sahabat untuk
mencatat admistrasi keuangan dan urusan kenegaraan yang mengetahui
surat-menyurat dengan bahasa yang bervariasi. Mesjid menjadi ikon pendidikan
selain berfungsi sebagai tempat peribadatan.
Usaha Nabi dalam memerangi kebuta-hurufan tercermin dengan kebijakannya
dalam melepaskan setiap tawanan perang badr dengan mengajarkan 10 anak
baca-tulis.Kemudian proses pembelajaran mengalami perkembangan yang pesat di
pelbagai kota-kota Islam seiring dengan diutusnya beberapa sahabat ke pelbagai
kota untuk mengajarkan ajaran Islam.
Sebagaimana jamak diketahui bahwa
terdapat sekian riwayat yang kontras antara larangan menulis hadis dan
pembolehannya. problematika larangan dan pembolehan penulisan selain alquran
pada fase keNabian menggelitik para pengkaji hadis untuk menyibak misteri di
balik teks tersebut. Abu Said al-Khudri meriwayatkan hadis Nabi”Janganlah
kalian tulis apa yang kalian dengan dariku, selain al-Qur’an.Barangsiapa yang
telah menulis sesuatu yang selain al-Qur’an hendaklah dihapus”. Namun
beberapa riwayat yang lain membolehkan penulisan selain alquran bahkan
menegaskannya. Riwayat yang membolehkan penulisan hadis pada masa Nabi adalah:
Abdullah bin Amru bin Ash
mengatakan :
“aku terbiasa menuliskan setiap yang
ku dengar dari Rasul dengan maksud untuk menghafalnya, kemudian orang Quraiys
berkata: apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah?
Sedang Rasul sendiri hanyalah manusia biasa yang kadang berbicara dalam keadaan
marah ataupun ridha, maka aku berhenti menulis dan menceritakan hal itu pada Nabi
kemudian beliau berkata tulislah, demi jiwaku yang berada pada genggamannya
tidaklah segala yang keluar darinya kecuali kebenaran.”
Muhammad Ajjaj Khatib menyimpulkan,
ada empat pendapat yang bervariasi dalam rangka mengkompromikan dua kelompok
hadis yang terlihat saling bertentangan dalam hal penulisan hadis Nabi SAW
tersebut yaitu :
(1) menurut imam Bukhari, Hadis Abu
Said al-Khudri diatas mauquf dan karenanya tidak dapat dijadikan dalil. Tetapi
pendapat ini ditolak, sebab menurut Imam Muslim hadis tersebut adalah sahih dan
diperkuat dengan hadis yang lain
(2) bahwa larangan menuliskan hadis
itu terjadi pada masa awal islam yang ketika itu dikhawatirkan terjadinya
percampuradukan antara hadis dengan Alquran. Tetapi setelah bertambah banyak
dan mereka telah membedakan antara hadis dan Alquran, maka hilanglah
kekhawatiran itu dan karenanya, mereka diperkenankan untuk menuliskannya
(3) larangan tersebut ditujukan kepada mereka
yang memiliki hafalan yang kuat sehingga mereka tidak terbebani dengan tulisan,
sedangkan kebolehan diberikan kepada mereka yang hafalannya kurang baik seperti
Abu Syah.
(4) larangan tersebut sifatnya umum,
sedangkan kebolehan menulis diberikan khusus kepada mereka yang pandai membaca
dan menulis sehingga tidak.
Terlepas dari adanya hadis-hadis yang
bertentangan dalam masalah penulisan hadis, ternyata di antara para sahabat
terdapat mereka yang memiliki kumpulan-kumpulan hadis dalam bentuk tertulis
secara pribadi, seperti Abdullah bin Amru bin Ash yang menghimpun hadis dan
dinamainya dengan al-Shahifah al-Anshari yang memuat seribu hadis. Demikian
juga dengan Saad ibn Ubadah al-Anshari, Samrah bin Jundub, Jabir bin Abdullah
al-Anshari dan Anas bin Malik.[6]
D. HADIS PADA PERIODE SAHABAT
Periode ini, secara umum, merupakan
periode sahabat tanpat membedakan antara sahabat besar al-Khulafa’ al-Rashidun
dan sahabat kecil. Namun membedakan antara masa al-Khulafa’ al-Rashidun dengan
masa sahabat kecil yang digabungkan dengan masa tabi’in besar, mengingat adanya
perbedaan karakter antara keduanya.
a)
Pemeliharaan
Hadis pada masa al-Khulafa’ al-Rashidun.
Para sahabat, khususnya al-Khulafa’ al-Rashidun,selalu
berpegang teguh pada hadis sebagai wujud ketaatan mereka kepada Allah dan
Rasul-Nya. Bagi mereka apa-apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah, Alquran dan
hadis adalah petunjuk yang akan mengantarkan mereka pada kebahagiaan.Karena
itu, mereka senantiasa memelihara keduanya dengan selalu mengimplementasikannya
pada kehidupan keseharian dan mempertahankannya dengan segenap jiwa dan raga mereka.Pasca
wafatnya Nabi, para sahabat baru dapat mengetahui kedudukan hadis sebenarnya,
untuk kemudian selalu berpegang kepadanya. Karena itu, mereka sangat
berhati-hati dalam hal periwayatannya, terutama karena kekhawatiran mereka akan
terjadinya kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan terhadap hadis
sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran.
b)
Cara
sahabat dalam menjaga Hadis
1) Kehati-hatian sahabat dalam
meriwayatkan hadis. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa para sahabat sangat
berhati-hati dalam meriwayatkan hadis. Karena itu, mereka menempuh setiap cara
yang bisa menjaga al-Sunnah. Ketaqwaan mereka mendorong mereka bersikap moderat
dalam meriwayatkan sunnah, dikarenakan untuk menghormatinya, bukan karena
enggan terhadapnya. Di kalangan sahabat, Umar bin al-Khattab dikenal sangat
membenci orang yang memperbanyak meriwayatkan hadis dan sahabat lain juga ada
yang menempuh cara seperti itu. Bahkan ada beberapa sahabat lain yang hampir
sama sekali tidak pernah meriwayatkan hadis seperti Sa’id ibn Zaid ibn Amr ibn
Nafil, salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga
2)
Kecermatan
sahabat dalam menerima riwayat. Para sahabat sangat teliti dan cermat terhadap
hadis yang diterimanya. Cara tersebut yang ditempuh oleh para tabi’in dan
generasi sesudah mereka. Mereka berusaha menempuh segala cara yang menjamin
mereka akan kesahihan apa yang diriwayatkannya dan kapasitas pembawanya dengan
cara mencari hadis dari perawi lain.
Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar tidak menerima
hadis jika tidak disaksikan kebenarannya oleh orang lain. Sedang Ali tidak
menerima hadis sebelum yang meriwayatkan itu disumpah.
c)
Penulisan
Hadis pada masa al-Khulafa’ al-Rashidun
Di samping riwayat dari Nabi tentang
kebolehan menuliskan hadis dan beberapa hadis yang ditulis pada masa Nabi oleh
mereka yang diberi izin untuk menuliskannya, kita juga melihat para sahabat memasang
rambu-rambu bagi penulisan hadis. Pada masa al-Khulafa’ al-Rashidun, penulisan
itu belum mendapat penanganan khusus karena semangat mereka untuk menyelamatkan
Alquran dan hadis. Ada diantara mereka
yang tidak menyukai penulisan hadis, tetapi ada pula yang memperbolehkannya.
Bahkan diriwayatkan bahwa sebagian melarang penulisan pada akhirnya
memperbolehkannya dan ini terjadi ketika alasan-alasan pelarangan telah
hilang.Al-Hakim meriwayatkan dengan sanadnya dari Aishah bahwa ia berkata: Ayah
menghimpun hadis dari Nabi sejumlah 500 hadis. Suatu malam Abu Bakar membolak-balikkannya
berkali-kali, tetapi keesokan harinya membakarnya. ‘Umar bin al-Khattab pernah berpikir
untuk menghimpun hadis, tetapi kemudian ia mengurungkan niat itu. Ali ra. juga
pernah berceramah di hadapan masharakat: “Aku berkeinginan, siapa saja yang
memiliki kitab hadis supaya dihapus saja.[7]
Pada masa ini disebut, masa berkembang
dan meluasnya periwayata, hadis. Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas,
yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas
sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke
daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan
pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis. Karena meningkatnya periwayatan hadis,
muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga hadis di berbagai daerah di seluruh
negeri.
Pada masa ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali
ra, pada masa ini umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan:
Pertama, golongan Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syiah.
Kedua, golongan Khawarij, yang menentang Ali, Ketiga, golongan Jumhur (golongan
pemerintah pada masa itu).[8]
E. HADIS PADA PERIODE TABI’IN
Sejarah penulisan hadis pada masa
Tabi’in terjadi sejak masa pemerintahan
Muawiyah bin Abu Sufyan. Akan tetapi dilarang karena adanya riwayat yang
melarang menulis hadis
a.
pengumpulan hadis
Pengumpulan hadis bermula apabila para
khalifah mendapati bahwasanya telah
terdapat ramai para sahabat yang telah meninggal dunia ketika berperang ataupun
berhijrah ke Negara islamyang lain. Oleh karena itu, para sahabat hanya dapat
menyebarkan hadis tertentu yang dihafalkaan terhadap golongan mat di daerah
tertentu. Maka untuk mengelakkan ketimbulan hadis palsu dan dhof secara
berlebbihan tersebar luas, para khalifah merasa ia adalah penting bagi
pengumpul hadis-hadis Rasulullah agar terpelihara dan tidak hilang seiring dengan zaman.
b.
Cara periwayatan hadis pada masa Tabi’in
Pada masa tabi’in periwayatan hadis dilakukan
dengan cara “ Musyafahah”. Para tabi’in
menerima riwayat hadis dari sahabat sezaman. Misalnya az-Zuhry, seorang tabi’in
hadis yang diriwayatkan ada yang berasal sahabat Nabi SAW sepertAnas bin Malik
Cara musyafahah ini melibatkan “daya
ingatan dan hafalan dalam periwayatan hadis”. Oleh karena itu.para tabi’in
terpaksa menempuh jarak yang jauh untuk mendapatkan hadis demi memeriksa
kualitas hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat. Para tabi’in khuatiri jika
hadis itu akan dicemarikarena sikap yang tidak amanah oleh periwayatannya itu
jika berlaku pengaduhan antara sesame muslim seperti penyokong Ali dan
muawiyah.
c.
Sebab pengumpulan hadis
Alquran telah dimushakan pada zaman
Khalifah Ustman bin Affan oleh karena
itu, tidak ada halangan bagi kaum muslimin bagi membukukan hadis Rasulullah
agar keshahihannya terjaga
d.
Pertama yang membukukan Hadis
Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil inisiatif
untuk membukukan hadis Rasulullah SAW agar dapat menjaga keshahihannya dalil
Nabi.[9]
Masa tabi‟i
al-tabi‟in
dimulai dengan berakhirnya masa tabi‟in, dan tabi‟in
terakhir adalah tabi‟in yang bertemu dengan
sahabat yang meninggal paling akhir.An-Naisaburi menyatakan bahwa tabi‟in
yang terakhir adalah yang bertemu dengan Anas ibn Malik di Basrah, dengan
Abdullah ibn Abi Aufa di Kufah, dengan al-Sa‟ib ibn Yazid di Madinah,
dengan Abdullah ibn Haris ibn Jauz di Mesir, dengan Abu Umamah al-Bakili di
Syam, dan Abu Thufail Amir ibn Wailah al-Laisi. Sedangkam menurut „Ajjaj
al-Khatibi bahwa akhir masa tabi‟in yang merupakan awal masa
tabi‟i
al-tabi‟in
adalah tahun 150 H.pendapat ini berbeda dengan pendapat Subhi al-Shalih yang
menyatakan bahwa akhir dari masa tabi‟in adalah tahun 181 H, bersamaan
dengan meninggalnya Khalaf ibn Khalifah. Ia adalah tabi‟in
yang terakhir karena ia adalah tabi‟in yang bertemu dengan
sahabat yang terakhir kali meninggal, yaitu Abu Thufail Amir ibn Wailah.Adapun
mengenai akhir masa tabi at-tabi‟in para ulama bersepakat
yaitu pada tahun 220 H.
Cara periwayatan hadis pada
tabi al-tabi‟in adalah bi al-lafzi, yaitu dengan
lafaz, karena kodifikasi hadis dimulai pada akhir masa tabi‟in.88
kodifikasi pada masa ini telah menggunakan metode yang sistematis, yakni dengan
mengelompokkan hadis-hadis yang ada sesuai dengan bidang bahasan masing-masing,
walaupun masih bercampur antara hadis Nabi dengan qaul sahabat dan tabi‟in.
sebagaimana terdapat dalam al-Muwattha‟ Imam Malik.Baru pada awal
abad kedua hijriyah, dalam kodifikasinya, hadis sudah dipisahkan dari qaul
sahabat dan tabi‟in seperti Musnad Abu Dawud
at-Thayalisi (204 H).
Selain
dengan riwayah bi al-lafzi salah satu system penerimaan dan periwayatan
hadis yang muncul pada masa ini adalah system “isnad”. Maraknya
pemalsuan hadis pada akhir masa tabi‟in dan berlanjut pada masa
sesudahnya telah mendorong para ulama untuk meneliti keotentikan hadis yang
salah satu caranya adalah dengan
meneliti perawi-perawinya. Dari penelitian terhadap perawi hadis inilah
kemudian muncul sisitem “isnad” sebagaimana yang kita kenal saat ini.
Akan tetapi, menurut Abu Zahrah, sanad yang disampaikan pada masa tabi al-tabi‟in
tidak selalu bersambung kepada Rasulullah. Sehingga tabi‟in
sering menyampaikan sebuah hadis dengan tidak menyebut sahabat yang
meriwayatkannya.[10]
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini yaitu Pada saat masa Rasulullah hadis melekat
dalam memori para sahabat dan belum banyak ditulis, bahkan di awal-awal wahyu,
hadis dilarang untuk dicatat karena khawatir bercampur dengan Alquran. Para sahabat merupakan penyambung lidah Rasulullah. Banyak
diantara mereka yang mendengar berbagai hal secara langsung dari Rasulullah.Umar
bin Khattab secara bergantian dengan tetangganya menghadiri majlis nabi Saw.
Dan pada saat masa nabi hadis
telah ada sejak awal perkembangan Islam
adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadis Nabi merupakan
sumber ajaran Islam, di samping Alquran. "Hadis atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala
sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan,
perbuatan, atau taqrir-nya.
Pasca wafatnya Rasulullah SAW. Baru
dapat mengetahui kedudukan hadis sebenarnya, untuk kemudian selalu berpegang
teguh pada keduanya. Karena itu, mereka sangat berhati-hati dalam hal
periwatannya, terutama karena kekhawatiran mereka akan terjadinya
kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan terhadap hadis sebagai sumber
hukum kedua setelah Alquran.
Sejarah penulisan hadis pada masa Tabi’in terjadi sejak masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Akan tetapi dilarang karena adanya riwayat yang melarang menulis hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad,
‘MELACAK AKAR KESEJARAHAN HADIS NABI PRA-KODIFIKASI’, TAHDIS, Volume 6 N
(2015),hlm. 65–67
Agusman Damanik, MA,
‘URGENSI STUDI HADIS DI UIN SUMATERA UTARA’, (2017),hlm. 87
Hading, ‘Sejarah
Pertumbuhan Dan Perkembangan Hadis’,hlm. 7–10
Qudsy, Saifuddin
Zuhri, ‘UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN SEMANGAT PENULISAN HADIS’, ESENSIA, Vol.
XIV N (2013),hlm. 258–59
Saihen, Dian Hazwani
Binte, Nur Amalina Binte Mohamed Zali, Nur Hasanah Binte Abdul Aziz, Noor
Azilah Binte NoorMohamed, Nursyazana Binte Abdul Aziz, and Sulianah Binte
Sulaiman Sujai, ‘Sejarah Dan Perkembangan Hadith Pada Zaman Tabi‘Un’, (2014),hlm.
13
Sanaky, Hujair AH.,
‘HADIS PADA MASA NABI Kajian Hadis Dan Perbedaannya Dengan As-Sunnah,Al-Khabar,
Atsar’
Sunusi, ‘MASA DEPAN
HADIS DAN ULUM HADIS’, Jurnal Al Hikmah, Vol. XIV N (2013),hlm. 56–57
Supian, Aan,
‘KONTRIBUSI PEMIKIRAN HASBI ASH-SHIDDIEQY DALAM KAJIAN ILMU HADIS’, Mutawâtir:
Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Volume 4, (2014),hlm. 282
Zain, Lukman, ‘Sejarah
Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya’, 2|D{iya> Al-Afka,
Vol. 2 No. (2014),hlm. 19–20
ZAINUL ARIFIN, M.A.,
‘STUDI KITAB HADIS’
[1]Saifuddin Zuhri Qudsy, ‘UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN SEMANGAT PENULISAN HADIS’,
ESENSIA, Vol. XIV N (2013), hlm.
258–59.
[3]Aan Supian, ‘KONTRIBUSI PEMIKIRAN HASBI ASH-SHIDDIEQY DALAM KAJIAN ILMU
HADIS’, Mutawâtir: Jurnal Keilmuan Tafsir
Hadis, Volume 4, (2014), hlm. 282.
[5]Hujair AH. Sanaky, ‘HADIS PADA MASA NABI Kajian Hadis Dan Perbedaannya
Dengan As-Sunnah,Al-Khabar, Atsar’.
[6]
Muhammad Abduh, ‘MELACAK AKAR KESEJARAHAN HADIS NABI PRA-KODIFIKASI’, TAHDIS, Volume 6 N (2015), hlm. 65–67.
[9]Dian Hazwani Binte Saihen and others, ‘Sejarah Dan Perkembangan Hadith
Pada Zaman Tabi‘Un’,( 2014), hlm. 13.
[10]
Lukman Zain, ‘Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya’, 2|D{iya> Al-Afka, Vol. 2 No. (2014),
19–20.
Komentar
Posting Komentar