Sejarah kodifikasi hadis: pembukuan hadis abad ll,lll,lV,V H dan sampai sekarang
Sejarah
kodifikasi hadis: pembukuan hadis abad ll,lll,lV,V H dan sampai sekarang
A.
Pendahuluan
Mempelajari
hadis merupakan salah wujud rasa cinta seorang Umat Islam kepada Rasulullah
SAW, karena hanya dengan mempelajari hadis dan sunnahnya, umat islam akan
mengenal, memahami, sekaligus mempraktikan akhlak Rasulullah dalam kehidupan
sehari-hari. Meskipun di kalangan orientalis tidak ada kaitan antara
mempelajari ilmu hadis dengan perwujudan kecintaan kepada Nabi Muhammad. Oleh
karena itu, penelitian sekaligus analisis terhadap hadis sangat diperlukan agar
motivasi buruk yang biasanya muncul dari kaum orientalis dalam memepelajari
ilmu hadis dapat dibendung secara ilmiah.
Hadis
yaitu semua bentuk perkataan, perbuatan, taqrir, dan cita-cita yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad. Penyandaran bentuk-bentuk hadis itu berkaitan dengan tiga
unsur penting dalam hadis, yakni rawi, sanad, dan matn.dan munfasil al-sanad. kodifikasi
pada akhir abad ll,lll,lV,V H dan sampai sekarang atau permualaan II H.
Perjalanan sejarah kompilasi dan kodifikasi hadis telah melewati serangkaian
fase historis yang panjang dan rumit.
B. Kodifikasi pada abad ke ll
Memasuki abad II H, pengkodifikasian
Hadis-hadis sudah mengalami perkembangan, karena ia terhimpun dalam beberapa
kitab Hadis dengan metode juz dan atraf.[1]
Posisi istimewa Hadis merupakan akibat logis
dari penempatannya sebagai sumber pokok ajaran Islam kedua setelah Alquran .
Karena keglobalan Alquran, maka Hadis yang diyakini merupakan rekaman tentang perkataan,
perbuatan, dan penetapan Nabi, menjadi penafsir atau penjelas terhadap Alquran.Kedudukan
Hadis dalam kaitannya dengan Alquran ini sejajar dengan kedudukan Nabi sebagai pembawa
wahyu Allah. Ketaatan kepada Allah, dalam beberapa ayat Alquran, tidak jarang
dikaitkan dengan ketaatan kepada Nabi. Namun, kedudukan sentral Hadis dalam
tradisi keilmuan Islam sebagai perwujuan keyakinan mayoritas umat Islam atas
sumber dan posisi Hadis ini, seolah-olah tidak memiliki landas pijak yang kokoh
ketika kemudian Ignaz Goldziher, seorang orientalis yang sangat konsen dalam
masalah hadis, mengeluarkan statemen bahwa mengetahui sejumlah besar Hadis dalam
kumpulan-kumpulan konon lebih menyebabkan sikap skeptis dari pada kepercayaan optimis. Bahkan, orientalis
Joseph Schacht lebih jauh mensinyalir bahwa banyak Hadis yang hampir tidak
dapat dianggap otentik, karena hadis-hadis itu, dengan motivasimotivasi tertentu,
disisipkan oleh para ahli Hadis pada paroh pertama abad II hijriyah.[2]
Hadis yaitu landan sabagi setiap umatnya nabi muhammad, yang dimana hadis ini
lah yang nantik nya yang akan memperkuat umat nabi muhammad agar tidak runtuh
dan apabila umat nabi muhammad memmiliki kesulitan dalam menyelesai kan suatu
masalah yang tidak dapat di selesai kan dengan pengetahuan yang di miliki maka
umat nabi muhammad dapat mencari penyelasaian masalah dengan milihat hads-hadis
yang telah di turunkan Allah SWT melalui para nabi dan rasul-rasul Allah.
Dari pengertian yang telah saya paparkan di
atas dapat saya simpulkan bahwa kedudukan Hadis dengan Alquran yaitu sejajar
dengan kedudukan Nabi sebagai pembawa wahyu Allah. Ketaatan kepada Allah, yang
terdapat dalam beberapa ayat Alquran, serta
tidak jarang dikaitkan dengan ketaatan
kepada Nabi. kedudukan sentral Hadis menurut tradisi keilmuan Islam sebagai perwujuan
keyakinan serta mayoritas umat Islam
atas sumber dan posisi Hadis, seolah-olah tidak memiliki landas pijak yang
kokoh ketika Ignaz Goldziher, seorang orientalis yang sangat konsen dalam
masalah hadis, mengeluarkan statemen bahwa mengetahui sejumlah besar
kumpulan-kumpulan hadis konon lebih
menyebabkan sikap skeptis dari pada
kepercayaan optimis, sehingga dapat memudahkan umat nabi muhammad.
C.
Kodifikasi pada abad ke lll
Memasuki abad III H, Hadis-hadis
terhimpun dalam kitab musnad.
Yang dimana musnad berarti salah satu kitab hadis nabi yang terkenal dan
terluas, serta kedudukannya menempati posisi yang di utamakan di kalangan para
ahli sunnah sebagai induk rujukan di kalangan para ahli.
Menurut sejarah, faktor utama munculnya Ulum
Hadis, adalah disebabkan munculnya Hadis-hadis palsu, yang telah mencapai
klimaksnya pada abad III H, maka ulama Hadis menyusun berbagai kaidah dalam
ilmu Hadis yang secara ilmiah dapat digunakan untuk penelitian Hadis.[3]
Periode
ini merupakan masa yang paling sukses, karena para ulama hadis telah berhasil
memisahkan antara riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah saw, riwayat
sahabat dan tabi‘in, sehingga dapat dibedakan antara hadis Rasul dan fatwa atau
perkataan sahabat dan tabi‘in. Di samping itu juga telah dilakukannya penelitian
atau dengan istilah filterisasi (penyaringan) antara hadis yang sahih dan yang
tidak sahih.
Keistimewaan
musnad ini adalah terpisahnya hadis Nabi saw. dengan perkataan-perkataan para
sahabat dan Tabi’in, serta adanya penjelasan dari para fuqaha tentangnya. Karena
tujuan penulis musnad adalah mengumpulkan riwayat-riwayat yang datang dari para
sahabat, wajar bila segala jenis riwayat yang sahih, dha’if dan
bahan ja’li terkumpul menjadi satu. Oleh karena itu, jika dilihat dari
segi validitas, musnad berada diperingkat ketiga setelah kitab hadis sahih dan
sunan. Hanya Musnad Ahmad bin Hanbal saja yang dianggap sejajar dengan
kitab sunan.
Pembukuan
Shihah dan Sunan Keterbatasan-keterbatasan musnad pada abad ketiga telah
melahirkan metode lain dalam proses pembukuan hadis. Metode ini berusaha
mengklasifikasi riwayat-riwayat yang sahih dari riwayat-riwayat yang lain ke
dalam bab-bab yang tematis. Kemudian pembukuan hadis dengan menggunakan metode sunan
juga mulai diminati oleh para muhaddits. Sunan adalah kitab yang biasanya
mencakup hadis-hadis ahkam (hukum-hukum fiqih) dan dibukukan berdasarkan
bab-bab fiqih. Riwayat-riwayat di dalamnya berbentuk musnad yang non-mauquf.karena
mauquf hanya disandarkan kepada para sahabat, maka ia
tidak disebut dengan sunan (sunnah) Nabi saw.
Di era mutaqaddimin
Ahlus Sunnah, pembukuan sunan adalah merupakan hal yang sangat populer. Kitab Sahihain
dan Sunan Arba’ah menjadi bagian penting dalam tradisi pembukuan
hadis mereka. Kitab Ṣaḥihain
dan
Sunan Arba’ah ini disebut dengan Kutub al-Sittah. Kitab-kitab ini
semuanya dibukukan pada abad ketiga. Oleh karena itu, abad ini juga disebut
dengan abad keemasan pembukuan hadis oleh Ahlus Sunnah.[4]
pada
permulaan abad III H, para ulama berusaha menyusun kitab-kitab musnad yang
memuat hadis Nabi dan memisahkannya dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in.
penyusunan kitab demikian adalah Abu Daud al-Tayalisi (202 H). kitab sejenis
yang paling memadai dan paling luas adalah Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal,
kendati Imam Ahmad hidup pada masa sesudahnya. Ia wafat sesudah tahun 202 H.
walaupun sudah dipisahkan dari fatwa sahabat dan tabi'in, namun hadis-hadis
dalam kitab Musnad itu masih bercampur antara yang shahih dengan yang tidak
shahih. Oleh karena pada masa pertengahan abad III H disusunlah kitab-kitab
yang benar-benar hanya memuat hadis sahih, seperti Shahih Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan Ibn Majah, dan Sunan
al-Nasa'i.119
Menurut para penulis,
orang pertama yang menulis dan mengumpulkan hadis dalam satu bab tertentu,
adalah al-Jalil Amir al-Sya'bi' (19-130 H), beliau menyusun kitab hadis khusus
mengenai masalah talak.120Kemudian dilanjutkan
oleh Abdullah ibn Musa al-Abasy al-Kufi, Musaddad al-Basry, Asad ibn Musa dan
Na'im ibn Hammad al-Khaza'i dan lainnya.121 Pada
abad ke-tiga ini bermunculanlan kitab-kitab hadis, maka digelarlah kritik sanad
dan matan hadis serta jarh wa ta'dil suatu hadis. Usaha ini lebih
dikenal dengan sebutan pen-tashih-an dan penyaringan hadis dengan kriteria
tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Bukhari dan selanjutnya diteruskan
oleh beberapa orang muridnya, sehingga terjaringlah hadis-hadis dengan skala
nilainya.
Adapun
kitab-kitab yang dibukukan pada abad ke-tiga H, yang termasyhur antara lain :
1. Al- Jami'
al-Shahih, karangan Imam al-Bukhari (256 H)
2.
Al- Jami' al-Shahih, karangan Imam Muslim (261 H)
3.
Al- Sunan, karangan Ibnu Majah (273 H)
4.
Al- Sunan. Karangan Abu Daud (275 H)
5.
Al- Sunan, karangan al-Tirmidzi
6. Al-Sunan, Karangan al- Nasa'i (303 H)124
7.
Al- Musnad, karangan Ahmad ibn Hanbal
8.
Al- Musnad, karangan al- Darimi
9.
Al- Musnad, karangan Abu Daud al-Tayalisi.
Penulisan
hadis pada periode ini yang mrnggunakan masnad mempunyai keistimewaan.
Keistimewaan musnad ini adalah terpisahnya hadis Nabi saw. dengan
perkataan-perkataan para sahabat dan Tabi’in, serta adanya penjelasan dari para
fuqaha tentangnya.[5]
D. Kodifikasi
pada abad ke lV
Pada
abad ke lV ini dapat di jelaskan setelah berakhirnya kodifkasi hadis pada masa
atba’ atba’ al-tabi’in proses pengumpulan hadis masih terus berlanjut. Paling
tidak abad IV, di kalangan orang-orang yang bermadhhab Aswaja, telah disusun
beragam kitab hadis dengan metode dan materi yang beragam. Dalam penyusunanya,
masih ada kitab hadis yang judulnya masih mengikuti karangan abad sebleumnya,
seperti sunan, dan musnad, tetapi ada pula yang sudah menggunakan judul-judul
baru seperti mustakhraj, mustadrak, mujam, dan majma’. Sementara di kalangan
Syiah, sepanjang dua abad ini telah disusun beragam kitab hadis dengan beragam
metode-metode berbeda yang digunakan. Ada sebaian kitab syiah yang disusun
berdasarkan bab-bab fikih dan ada pula yang memuat topic-topi yang lebih luas.[6]
koleksi kitab Hadis dengan model sunanyang dilahirkan pada abad IV H dan V
H di antaranya adalah: Sunan Abi al-Hasan Ahmad ibn ‘Ubayd
al-Bashri (341 H),
Sunan
Abi Bakr Muhammad ibn Yahya al-Hamdani (347 H), Sunan Abi Bakr
Ahmad ibn Sulayman al-Najjad al-Baghdadi (348 H), Sunan ‘Ali ibn ‘Umar
al-Daraquthni (385
H), Sunan
Ibn Lal Abi Bakr Ahmad ibn ‘Ali al-Hamdani (398 H), Sunan Abi
al-Qasim Hibat Allah ibn al-Hasan al-Thabari (418 H), dan Sunan Abi Bakr
Ahmad ibn al-Husayn al-Bayhaqi (458 H) Selain beberapa kitab Hadis yang disebut dengan kitab
sunan, pola penyusunan yang identik
dengan pengarusutamaan fikih dalam pembukuan Hadis adalah kitab-kitab Hadis
yang dikenal dengan istilah mushannaf dan jami‘. Beberapa kitab Hadis dengan pola
susunan jami‘ selain karya al-Bukhârî, Muslim,
dana l-Tirmidzî yang dilahirkan pada kurun waktu abad II sampai dengan abad IV
H di antaranya adalah: Jami’Abi ‘Urwah Ma’mar ibn Rasyid
al-Bashri (153 H),
Jami’Abi
‘Abd Allah Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsawri (161 H), Jami’
Abi Muhammad Sufyan ibn ‘Uyaynah (198 H), dan Jami’ Abi Bakr
Ahmad ibn Muhammad al-Khallal al-Hanbali (311 H).[7]
Dapat disimpulkan bahwa pada periode ini para ulama tidak lagi
mencari hadis hanya fokus mengmpulkan dan menulis hadis dengan benar. Dan
penyusunan hadis sesuai keinginan para penulis hadis.
E.
Kodifikasi
pada abad ke V
Pada abad ke V
H muncul kitab yang dapat menjelaskan kata-kata yang garib dalam al-sahihain
(sahih al-Bukhārī dan Muslim)
yaitu Tafsīr Garīb mā fī al-sahihain. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kata tafsir jauh lebih luas
daripada kata syarḥ.
Selain kata tafsir, istilah atau kata
yang juga digunakan untuk menjelaskan hadis-hadis Nabi saw.[8]
Perkembangan teknik pengkodifikasian hadis pada abad ke V H
ialah sebagai berikut:
a. Mu‘jam; artinya menghimpun hadis-hadis yang diperoleh
berdasarkan nama sahabat secara abjad. Kitab Mu‘jam yang terkenal dengan
menggunakan metode ini ialah kitab yang ditulis oleh Sulaiman bin Ahmad
al-Tabraniy (w. 360 H) yang terbagi pada tiga Mu‘jam, yaitu al-Mu‘jam
al-Kabir, al-Mu‘jam al-Awsat dan al-Mu‘jam al-Asgar.
b. Sahih; yaitu metode pembukuannya mengikuti
metode pembukuan hadis Sahihain (Bukhariy dan Muslim) yang
hanya mengumpulkan hadis sahih saja menurut penulisannya. Kitab
yang terkenal dengan metode ini ialah kitab yang ditulis oleh Ibn Hibban
al-Bastiy (w. 354 H) dengan nama kitabnya Sahih Ibn Hibban, kemudian Ibn
Khuzaimah (w. 311 H) dengan karyanya Sahih Ibn Khuzaimah, lalu oleh Ibn
al-Sakan (w. 353 H) dengan karyanya Sahih Ibn al-Sakan.
c. Al-Mustadrak; ialah menambah beberapa hadis sahih yang
menurutnya belum disebutkan dalam kitab yang dihimpun oleh Bukhariy dan Muslim
serta menurutnya telah memenuhi persyaratan keduanya. Kitab yang terkenal
dengan metode ini ialah kitab yang ditulis oleh Abu ‘Abdullah al-Hakim
al-Naisaburiy (w. 405 H) dengan judul kitab al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain.
d. Sunan; adalah metode penulisannya sama dengan kitab Sunan
pada abad sebelumnya, yaitu cakupannya hadis-hadis tentang hukum seperti
fikih. Kitab yang menggunakan metode ini ialah kitab yang ditulis oleh Ibn
Jarud (w. 307 H) dengan karyanya Muntaqa Ibn Jarud, al-Daruqutniy (w.
385 H) dengan judul kitabnya Sunan al-Daruqutniy, Imam al-Baihaqiy (w.
458 H) dengan judul kitabnya Sunan al-Baihaqiy.
e. Syarah; yakni penjelasan hadis baik yang berkaitan
dengan sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan hadis
atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau dengan hadis lain.
Kitab Syarah yang muncul pada masa ini ialah kitab yang ditulis oleh
al-Tahawiy (w. 321 H) dengan judul kitab Syarh Ma‘ani al-Asar dan Syarh
Musykil al-Asar.
f. Mustakhraj; ialah seorang penghimpun hadis
mengeluarkan beberapa buah hadis dari sebuah kitab hadis seperti yang diterima
dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri. kitab yang
menggunakan cara ini ialah kitab yang
ditulis oleh Abu Bakr Isma‘il (w. 371 H) dengan judul kitab Mustakhraj
Abi Bakr al-Isma‘il ‘ala Sahih al-Bukhariy.
g. Al-Jam‘u; adalah gabungan dua atau beberapa
kitab hadis menjadi satu kitab. Cara ini dilakukan oleh Isma‘il bin Ahmad/Ibn
al-Furat (w. 401 H) dengan judul kitab Sahih al-Jam‘ baina al-Sahihain dan
kitab Jam‘u baina al-Sahihain yang ditulis oleh al-Husain bin Mas‘ud al-Bagawiy
(w. 516 H).[9]
F. Kodifikasi
hadis pada masa sekarang
Mulai dari masa baghdad
diancurkan oleh Hulagu Khan, berpindahlah kegiatan perkembangan hadits ke Mesir
dan India. Dalam masa ini banyaklah kepala-kepala pemerintahan yang
berkecimpung dalam bidang ilmu hadits seperti Al Barquq. Disamping itu tak
dapat dilupakan usaha ulama-ulama india dalam mengembangkan kitab-kitab hadits
yang berkembang dalam masyarakat umat islam dengan usaha penerbitan yang
dilakukan oleh ulama-ulama india. Merekalah yang menerbitkan kitab “ulumul
hadits” karangan Al Hakim. Pada masa akhir-akhir ini berpindah pula kegiatan
itu ke daerah kerajaan saudi arabia.
a. Jalan-jalan yang di tempuh
dalam masa ini ialah : menertibkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya dan
menyusun kitab-kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab jami‟ yang umum, kitab-kitab
yang mengumpulkan hadis-hadis
hukum,
mentakhrijkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab, mentakhrijkan
hadits-hadits yang terkenal dalam masyarakat dan menyusun kitab Athraf.
b. Diantara kitab-kitab yang
disusun dalam periode ini adalah:
1) Kitab-kitab Zawaid
Dalam periode
ini bangunlah ulama mengumpulkan hadits-hadits yang tak terdapat dalam
kitab-kitab yang sebelumnya kedalam sebuah kitab tertentu. Kitab-kitab itu
mereka namai, Kitab Zawaid. Diantara kitab Zawaid yang tekenal, ialah :
a) Kitab
Zawaid Sunan Ibnu Majah
b) Kitab
Ith-haful Maharah bi zawaidil Masanidil „aAsyrah
c) Kitab
zawaid As Sunnil Kubra
d) Kitab Al
Mathalibul Aliyah fi zawaidil Masanadi I-Tsamaniyah.
2)
Kitab-kitab Jawami yang umum
Ulama-ulama
hadits dalam periode ini mengumpulkan pula hadits-hadits yang terdapat dalam
bebrapa kitab, kedalam sebuah kitab yang tertentu. Diantara kitab yang
merupakan jawami yang umum, ialah :
a) Kitab Jami‟ul Masanid was Sunan Al Hadi li aqwami sanan
b) Jami‟ulJawami
3) Tokoh-tokoh
hadits dalam masa ini
a) Az Zahaby
b) Al Asqalani
c) As Sayuti.[10]
Dapat disimpulkan bahwa pada masa
sekarang ini ulama hanya bertugas
untukmenertibkan dan menyaring hadis
apabila ada hadis yang belum sistematis urutannya kemudian membuat
kitab-kitabseperti zawaid dan jawami. Kemudian para ulama mentakhrij hadis
untuk menyusunnya dalam satu kitab yang disebut Athraf.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Muhammad, ‘TEORI KLASIFIKASI KITAB
HADIS’, TAHDIS, Volume 8 N (2017),hlm. 162–64
Amin, Ahmad Paishal, ‘HISTORIOGRAFI
PEMBUKUAN HADIS MENURUT SUNNI DAN SYI’AH’, Al-Dzikra, V0lume 12, (2018),hlm.
90–91
Anik Zuliyanti, Wuri Astutik, and Nurul
Musdalifah, ‘PROSES KODIFIKASI HADITS’, 2015 ( tidak memiliki halaman )
Lukman Zain, MS., ‘Sejarah Hadis Pada Masa
Permulaan Dan Penghimpunannya’, Vol. 2 No. (2014), hlm. 25-26
Mosiba, Risna, ‘MASA DEPAN HADIS DAN ILMU
HADIS’, Volume V, (2016), hlm.322
Muhajir, Mohamad, ‘HADIS DI MATA
ORIENTALIS’, Jurnal Tarjih, Volume 14 (2017), hlm. 20-21
<https://jurnal.tarjih.or.id/index.php/tarjih/article/view/14.102>
Muhammad Anshori, ‘SYARH HADIS DARI MASA KE
MASA’, Jurnal Al-Irfani STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang, Volume I N
(2017)(tidak memiliki halaman)
Nizar, Muhammad, ‘Tadwin Al-Hadith
(Kontribusinya Sebagai Penyempurna Hukum Islam Ke Dua)’, Jurnal Al-Tsiqoh
(Dakwah Dan Ekonomi), Vol. 4. No (2019),hlm. 25
Rifqi Muhammad Fatkhi, ‘DOMINASI PARADIGMA
FIKIH DALAM PERIWAYATAN DAN KODIFIKASI HADIS’, Ahkam, Vol. XII, (2012),hlm.
105
Sunusi, ‘MASA DEPAN HADIS DAN ULUM HADIS’, Jurnal
Al Hikmah, Vol. XIV N (2013),hlm. 58
[2]Mohamad Muhajir, ‘HADIS DI MATA ORIENTALIS’, Jurnal Tarjih, Volume 14 (2017), hlm. 20-21
<https://jurnal.tarjih.or.id/index.php/tarjih/article/view/14.102>.
[4]Ahmad Paishal Amin, ‘HISTORIOGRAFI PEMBUKUAN HADIS MENURUT SUNNI DAN
SYI’AH’, Al-Dzikra, V0lume 12,
(2018),HLM. 90–91.
[5]MS. Lukman Zain, ‘Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan Dan Penghimpunannya’,
Vol. 2 No. (2014), hlm. 25-26.
[6]Muhammad Nizar, ‘Tadwin Al-Hadith (Kontribusinya Sebagai Penyempurna Hukum
Islam Ke Dua)’, Jurnal Al-Tsiqoh (Dakwah
Dan Ekonomi), Vol. 4. No (2019),hlm. 25.
[7]Rifqi Muhammad Fatkhi, ‘DOMINASI PARADIGMA FIKIH DALAM PERIWAYATAN DAN
KODIFIKASI HADIS’, Ahkam, Vol. XII,
(2012),hlm. 105.
[8]Muhammad Anshori, ‘SYARH HADIS DARI MASA KE MASA’, Jurnal Al-Irfani STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang, Volume I N
(2017).hlm.8
[10]Wuri Astutik Anik Zuliyanti and Nurul Musdalifah, ‘PROSES KODIFIKASI
HADITS’, 2015.(
tidak memiliki halaman
Komentar
Posting Komentar