Ulumul Hadis, Sejarah Perkembangannya: Pengertian, Sejarah Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadis pada Periode Klasik, Pertengahan dan Modern

Nama : Zul'Afni Batubara 
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Motto : Usahan Tidak Akan Menghiyanati Hasil
Hobby : Olahraga, 
E_mail : zulafni_24

Ulumul Hadis, Sejarah Perkembangannya: Pengertian, Sejarah Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadis pada Periode Klasik, Pertengahan dan Modern
Pendahuluan

Hadis merupakan sumber hukum islam yang didalamnya terdapat banyak ilmu pengetahuan yang bersumber dari Rasulullah SAW yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hadis juga banyak diteliti oleh para ulama-ulama dan menetapkan suatu hokum dari hadis tersebut. Oleh karena itu untuk meneliti hadis dibutuhkan disiplin ilmu yang tinggi. Hadis juga diajarkan di sekolah-sekolah untuk meningkatkan kualitas keimanan seseorang sejak zaman Nabi hingga sekarang semua ilmu pengetahuan  yang termuat didalamnya dusatukan dengan nama ulumul hadis. Untuk itu pada makalah ini saya akan menjelaskan tentang ulumul hadis dan sejarah perkembangannya.
Hadis memiliki posisi yang penting dalam Islam. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memahami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Olehnya itu, pengkajian akan hadis merupakan sesuatu yang urgen bagi umat Islam. Hadis sampai hari ini masih menyisakan berbagai problem yang harus dicarikan solusinya. Di antara problem yang mucul adalah aspek historis, otoritas, otentisitas, interpretasi, metodologi, menjawab tantangan zaman dengan ribuan problemnya dan lain sebagainya. Imbas dari problem tersebut melahirkan stigma bahwa hadis dilingkupi berbagai problem sehingga tidak sedikit umat Islam yang kemudian meragukan bahkan menolak hadis sebagai sumber pengambilan hukum (inkar al-sunnah), atau mengkambinghitamkan hadis sebagai penyebab mundurnya umat Islam. Setidaknya dari problem tersebut muncul beberapa pertanyaan, antara lain: Apakah sesungguhnya hadis itu? Benarkah hadis itu adalah ucapan verbal nabi dan tingkah laku nabi atau persepsi masyarakat Islam tentang nabi? Apakah buku hadis yang kita warisi dari abad ketiga seperti Sahih Bukhari dan Muslim, merupakan refleksi sunnah nabi? Apakah metodologi yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim dan para mukharrij yang lain untuk menyeleksi hadis nabi sudah cukup akurat sehingga semua hadis yang terdapat di dalamnya dianggap sahih sehingga kritik sejarahtidak perlu lagi dilakukan? Bagaimana dengan akurasi metode
kritik hadis? Mampukah hadis menjadi solusi bagi problem masyarakat modern? Atau masihkah hadis dibutuhkan di era modern ini?
A.   Pengertian Ulumul Hadis
Secara terminologi, ulama Hadis mendefenisikan sebagai segala perkataan, perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada Nabi saw baik sebelum atau sesudah diutusnya.Sedangkan ulama usul membatasi sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan (taqrir) yang dinisbatkan kepada Nabi saw yang berkaitan dengan segala hukum syara’. Bila melihat sisi perbedaan antara pendefenisian ulama Hadis dan usul tersebut, tampaknya ulama usul menitik beratkan obyek hukum dari Hadis itu yakni berkaitan dengan hukum syara’ tanpa melihat latar belakang dan keterkaitan status kenabian Muhammad saw. sementara ulama Hadis melihat pengertian terminologi Hadis dalam peran Rasulullah saw, baik sebelum atau sesudah diutusnya. Ulum merupakan bentuk jamak dari ilm yang secara etimologi berarti mengetahui sesuatu sampai hakikatnya. Dengan begitu, maka Ulum al Hadis (ilmu-ilmu Hadis) memiliki substansi dan esensi. Substansinya adalah Ilmu Hadis Dirayah dan Ilmu Hadis Riwayah, yang dari keduanya memunculkan cabang-cabang ilmu yang membicarakan Hadis dan sumbernya. Sehingga, esensinya adalah segala yang berhubungan dengan pribadi Nabi saw.[1]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ulum hadis adalah ilmu-ilmu yang mempelajari semua perbuatan,perkataan ,dan sifat Nabi. bahwa ulum hadis berfungsi untuk memperjelas hadis-hadis Nabi dan ulum hadis tidak diragukan kebenarannya karena dapat dipertanggungjawabkan.bahwa para ulama hanya memahami hadis berdasarkan isinya saja tanpa menggunakan metode yang lain.


B.   Sejarah Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadis
1.        Paradigma Kajian Hadis
Kajian Hadis tidak tervatas kepada kajian Riwayat dan Dirayat saja, akan tetapi sudah memasuki aspek kesejarahan, pemahaman dan kajian Hadis sarjana barat. Kebangkitan studi Hadis disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya respon terhadap gugatan orientalis terhadap Hadis, terbebasnya negara-negara muslim dari belenggu kolonialis, munculnya paham salafi-takfiri, dan berkembangnya ilmu pengetahuan, sosial dan budaya masyarakat modern. Para pengkaji Hadis kontemporer lebih terfokus kepada kajian matan Hadis dan pemahamannya. Kajian Sharah Hadis dengan pendekatan hermenetik menjadi sebuah metode yang tren di indonesia seiring berkembangnya filsafat, sosial dan kebahasaan. Semangat kembali kepada Alquran dan Sunnah harus diimbangi dengan kerangka berpikir yang sistematis dalam memahami Hadis nabi.
2.       Perbedaan Metodologi Kajian Hadis; sarjana barat dan timur tengah
Kajian pensharahan Hadis ditimur tengah terpola dengan empat pola; Tahlili, Ijmali, Maudu’i dan Muqaran. Kajian pemahaman Hadis yang bersifat tekstual-normatif, banyak dipengaruhi oleh madhab kebahasaan kufah-Basrah dimasa klasik. Kajian Hadis diindonesia masih menjadi bagian pembelajaran Quran dan Fikih. Sebelum abad ke-19 kajian Hadis lebih menekankan kepada aspek sanad dan pengumpulan Hadis. Pada abad ke-20, penulisan lebih dengan tujuan pembelajaran ilmu Hadis sebagai pengantar disekolah dan perguruan tinggi, sedangkan pada abad 21 sampai sekarang lebih fokus kepada berbagai pendekatan dalam memahami Hadis Nabi.[2]
Ada perkembangan studi hadis di antaranya memang tidak sengaja, karena pelaksanaan syariat Islam ini memunculkan wacana-wacana baik itu muncul karena wacana yang berkaitan dengan politik, maupun wacana yang muncul karena akademik. Pada tahun 2015 kita ribut dengan shalat Jum’at yang harus pakai tongkat, keharusan adanya muwalah. Itu otomatis memunculkan kajian hadist. Muncullah kajian hadis-hadis tentang tongkat, dan hadis-hadis lain tentang Jum’at itu. Sebelum pelaksanaan syariat Islam itu ada tetapi cenderung tidak dikaji secara akademik. Termasuk ketika bicara tentang qanun-qanun tentang khalwat, qadzaf, saksi zina, itu kan penuh dengan kajian-kajian tentang Alquran dan hadis. Jadi ada pengaruh dari pemberlakuan syariat Islam. Dari pernyataan informan di atas, tampak bahwa penerapan syariat Islam secara tidak langsung juga meningkatkan pembahasan tentang hadis. Hal ini terutama ketika munculnya gesekan tentang syariat Islam mazhab mana yang ingin diterapkan di Aceh. Tetapi, kecenderungan pembahasan hadis dalam kaitan ini tentu saja ingin melihat sejauh mana pendapat mazhab tersebut harus diaplikasikan atau sejauh mana pula pendapat mazhab ini tidak harus diaplikasikan dalam syariat zaman modern.[3]
Berbeda dengan Alquran, keotentikan hadis seringkali dipersoalkan. Sejumlah kritikan ditujukan kepada hadis dan bahkan ada yang menolaknya. Kendatipun telah sekian lama melengkapi sumber ajaran Islam (Alquran), hadis sekiranya masih perlu diuji keabsahan dan validitasnya. Satu diantara beberapa penyebabnya adalah selainDengan statusnya sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, tentunya hadis yang dimaksud bukanlah hadis sembarangan, yaitu hadis yang kadar sanad dan matan-nya tidak jelas dan tidak memiliki sandaran yang kuat. Untuk mengukur ke-dhabitan (kevalidan) hadis, biasanya dikalangan akademis lebih memilih istilah kritik hadis, yaitu sebuah upaya untuk menilai dan menimbang hadis dari berbagai sisi, baik dari segi sanad maupun matan-nya yang memungkinkan diterimanya keabsahan dan ke- dhabitan hadis tersebut. Kritik matan dan terutama sanad ini terus berlangsung pada generasi-generasi sesudah sahabat, sampai terbentuknya buku-buku yang menceritakan (mencaci atau memuji) para perawi (sanad) hadis. Walaupun banyak ketimpangan (tidak seimbangnya antara kritik sanad dan matan) pada masa itu, namun perkembangan studi hadis hari ini menselaraskan antara kritik sanad dan matan. Menurut Muhammad al-Ghazali, ulama telah sepakat menempatkan Alquran sebagai sumber hukum dan perundang-undangan Islam, sementara hadis sebagai implementasinya. Oleh karena itu Alquran haruslah dijadikan sebagai ukuran kesahihan suatu hadis. Hadis yang sejalan dengan Alquran dapatlah dinyatakan sebagai hadis sahih dan hadis yang tidak sejalan dengan Alquran haruslan ditinggalkan. [4]


C.   Sejarah Perkembangan Ulumul Hadis pada Periode Klasik
Perkembangan Islam pada periode Klasik dimulai dari masa Rasulullah hingga jatuhnya pemerintahan Bani Abbas di Baghdad. Periode ini ditandai dengan upaya perintisan perkembangan dan kemajuan puncak yang pertama peradaban Islam (650-1000 M). Berikutnya masa disintegrasi (1000-1250 M). Periode klasik ini diwakili oleh kekhalifahan Nabi Muhammad di Haramain (Makkah dan Madinah), Khulafa al- Rasyidin di Madinah, Dinasti Bani Umayyah di Damaskus, dan kemudian Dinasti Bani Abbas di Baghdad. Pada periode ini, masa dan prestasinya lebih banyak dari pada periode-periode yang lain. Pada periode klasik (650-1250 M), Islam mengalami dua fase penting : Fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000M).Di fase inilah Islam di bawah kepemimpinan para khalifah mengalami perluasan pengaruh yang sangat signifikan, kearah barat melalui Afrika Utara Islam mencapai Spanyol dan ke arah timur melalui Persia Islam sampai ke India.[5]
Khazanah studi hadis pada masa prakontemporer, mulai merambah pada sebuah disiplin ilmu yang mapan. Berkembangnya studi hadis pada masa ini disebabkan dengan munculnya beragam disiplin-disiplin keilmuan baru yang bersinggungan dengan budaya serta bangsa lain yang telah mendorong upaya pembukuan masing-masing disiplin ilmu itu sendiri. Dari sini setidaknya dapat diketahui bahwa pada masa ini terdapat dua pembagian dalam ilmu hadis, yaitu ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah. Dalam prakteknya ilmu hadis riwayah fokus pada proses transmisi hadis, pemeliharaan dalam hafalan, serta Bukti nyata berkembanya khazanah studi hadis pada masa ini juga nampaknya dibuktikan dengan geliat para ulama dalam melirik kembali kajian Hadits, Hal ini di tandai pada abad 17 M. Para ulama indonesia yang ber-notabenya berasal dari pesantren banyak yang mulai terpikat berangkat ke daerah Timur Tengah terutama kawasan Mekkah dan Madinah untuk belajar Hadis Nabi dari ulama- ulama Haramayn.[6]
Pembedaan hadis antara yang ahad dan mutawatir belum muncul pada masa Rasulullah dan para sahabat. Para sahabat menerima hadis dari seseorang yang meriwayatkan kepada mereka setelah jelas status dan kredibilitas penyampainya. Pembedaan tersebut baru muncul pada masa tabi’in dan sesudahnya. Menurut Ibn Hazm (w. 456 H), sesungguhnyaMenurut Mu’tazilah, hadis ahad tidak bisa dikategorikan sebagai Sunnah, kecuali dalam sebuah konteks pengenalan dan tentunya setelah diketahui relevansinya dengan logika. Oleh sebab itu, menurut logika tidak bisa disebutkan misalnya, ”Rasulullah bersabda”, namun harus disebutkan, ”Diriwayatkan dari Nabi”. Akibat dari semua itu adalah bahwa kaum Mu’tazilah menolak banyak sekali persoalan akidah yang bersumber dari hadis ahad, seperti tentang siksa kubur, mengimani adanya telaga Nabi saw, adanya al-sirat, al-mizan (timbangan untuk amal perbuatan), shafa’at, dan masalah melihat Allah di akhirat. Mereka juga menolak banyak hukum-hukum syariat yang sah dengan alasan bertentangan dengan logika dan kontradiktif dengan Al-Qur’an, atau berlawanan dengan hadis-hadis lain. Itulah beberapa contoh penyimpangan Mu’tazilah yang diesbutkan oleh Ibn Qutaibah (w. 276 H) yang dikutif olehAbd al-Qahir al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq bayna al-Firaq.[7]
D.  Sejarah Perkembangan Ulumul Hadis pada Periode Pertengahan
Masa Perkembangan ilmu pengetahuan yang ditandai dengan modernisasi dan globalisasi mempunyai pengaruh atas berkembangan keilmuan Islam, termasuk kajian syarah hadis. Sejarah mencatat bahwa perkembangan syarah hadis mengamlami perubahan dari masa ke masa, hal tersebut disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan sosial-keagamaan. Seperti halnya yang dijelaskan dalam teori sosial pengetahuan (sociology of knowledge) bahwa sebuah pengetahuan dan pemikiran dibangun dan dipengaruhi masyarakat, teori sosiologi pengetahuan mengakui adanya pengaruh nilai- nilai sosial terhadap persepsi seseorang tentang realitas  Singkatnya, seseorang dipengaruhi oleh khalayaknya, atau khalayak itu dipengaruhi oleh seseorang. Oleh sebab itu, kaitannya dengan kajian syarah pada masa modern ialah perubahan paradigma yang terdapat dalam kajian syarah hadis akhir-akhir ini tidak lepas dari pengaruh nilai sosial masyakat yang berkembang. Dengan bahasa yang lebih mudah ialah kontek sosial mempengaruhi paradigma keilmuan. Kajian syarah hadis sebagai salah satu keilmuan Islam yang berperan dalam menuntun umat Islam dalam memahami sumber agama harus dilihat sebagai realitas sosial-religios, karena perubahan sosial dan ilmu pengetahuan menyebabkan perubahan paradigma keilmuan syarah. Beberapa contoh di atas terkait syarah pada masa awal sebagai percontoh, namun tidak umat Islam pada masa modern tidak harus menjadikan peristiwa tersebut sebagai ajaran yang harus diikuti secara total, karena konteks sosial dan peradaban yang jauh berbeda. Dengan demikian, ada beberapa metode dan pendekatan yang dapat diidentifikasi.[8]
Aspek otentisitas hadis atau keaslian literatur hadis menjadi elemen yang paling rawan dari teori hadis klasik dan menjadi fokus utama dalam kebanyakan diskusi tentang masalah hadis, baik di era pertengahan maupun modern.Pembahasan ini muncul dan berkembang karena sesuai dengan pendapat yang dominan di kalangan ulama hadis bahwa terdapat interval waktu yang cukup jauh antara wafatnya Nabi saw sebagai sumber primer hadis dengan kodifikasi hadis secara resmi dan massal. Salah satu eksesnya baik secara langsung atau tidak langsung adalah adanya pemalsuan hadis. Bila dibayangkan bahwa perjalanan hadis hingga sampai kepada kita, tentunya telah melewati fase yang tidak selalu mulus dan murni, bukan saja dari rangkaian sanad-nya tetapi juga materi hadis itu sendiri. Hadis-hadis Nabi tersebut, sampai pada masa pembukuannya secara resmi pada zaman Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99 H, masih bercampur dengan kata-kata atau fatwa sahabat. Hal ini menyebabkan jumlah materi yang dianggap hadis menjadi menggelembung seperti “gendang”, dari awal sedikit, menjadi banyak (pada tengahnya) dan pada akhirnya-setelah seleksi- menjadi sedikit lagi. Kitab sunan Imam Malik (92-179 H/ 12-798 M), al-Muwaththa’ yang merupakan kitab kumpulan atau koleksi hadis paling tua (disusun pada pertengahan awal abad ke II H.) tidak hanya memuat hadis Nabi saja tetapi juga fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Dengan demikian otentisitas hadis tidak luput dari kritikan, olehnya itu menjadi tantangan hadis dan ulumul hadis untuk senantiasa diadakan pembaruan guna otentisitas hadis di era mendatang.[9]
E.   Sejarah Perkembangan Ulumul Hadis pada Periode Modern
Hadis di mata mayoritas orang Islam dipandang sebagai salahsatu sumber pengetahuan keagamaan yang penting dan dipahami sebagai sumber normatif kedua setelah Alquran. Dalam rangka menjelaskan urgensitas ini, terdapat sebuah adagium terkenal, yaitu Alquran lebih membutuhkan hadis daripada hadis yang membutuhkan Alquran”. Maknanya, Alquran tidak dapat ditafsirkan jikalau tidak dibarengi dengan hadis. Namun, hal tersebut tidak berlaku pada hadis, atau dengan kata lain, hadis dapat menjelaskan dirinya sendiri. Dalam Dalam sebuah riwayat al-Darimi diinformasikan, Yahya bin Abi Katsir, seorang tabi’in kecil berkata “al-Sunnah qadhiyatun ‘ala Alquran wa laisa Alquran biqadhin ‘ala al-Sunnah”, yang artinya sunnah menjadi hakim atas Alquran, tetapi Alquran tidaklah dapat menghakimi atas sunnah. Hal ini melukiskan betapa sunnah mempunyai posisi penting dan kekuatan yang superior dalam tradisi keislaman sejak era klasik berdasarkan prinsip Alquran, yang tercermin dalam sanggahan Aisyah pada riwayat bahwa orang yang meninggal menderita karena ratapan keluarganya. Riwayat tersebut kontradiksi dengan statemen Alquran yang berkata, seseorang tidak akan memikul dosa orang lain (al-An’am: 164; al-Isra: 15; Fatir: 18; al-Zumar: 7; dan al-Najm: 38). Begitu pula ketika Aisyah menuduh dusta pada orang yang menuturkan riwayat yang melukiskan Tuhan turun memberikan wahyu pada Nabi Muhammad langsung. Aisyah lantas mengutip ayat Alquran yang menyatakan bahwa Tuhan hanya berbicara lewat medium wahyu atau di belakang tabir (al-Syura: 51).[10]


KESIMPULAN
Ulumul hadis secara Bahasa terdiri dari dukata yaitu ulum dan hadis yang berarti ilmu yang mempelajari semua perkataan, perbuatan, dan sifat nabi.
Hadis pada periode klasik ini terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW dimana hadis diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat menghafal hadis tersebut.
Pada masa pertengahan disebut masa kematangan hadis karena dituliskan macam-macam cabang ulum hadis. ulum Hadis pada masa modern tidak terlalu banyak mengalami perkembagan karena ulama hamya menertibkan kitab-kitab saja.










Daftar Pustaka
Afwadzi, Benny, ‘HADIS DI MATA PARA PEMIKIR MODERN ( Telaah Buku Rethinking Karya Daniel Brown )’, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis, Vol.15 (2014), hlm.227-242
Ali, Moh., ‘REAKTUALISASI NILAI-NILAI ISLAM KLASIK DI ERA GLOBAL’, Istiqra, Vol.5 (2017), hlm.209-230
Damanik, Agusman, ‘URGENSI STUDI HADIS DI UIN SUMATERA UTARA’, Kewahyuan Islam, Vol.2 (2017), 83–94
Maizuddin, ‘Potret Studi Hadist Di Wilayah Syariat’, Substantia, Vol.20 (2018), hlm.171-184
Maulana, Luthfi, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS ( Dari Tradisi Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital )’, ESENSIA, Vol.17 (2016), hlm.111-123
Moh. Muhtador, ‘SEJARAH PERKEMBANGAN METODE DAN PENDEKATAN SYARAH HADIS’, Studi Hadis, Vol.2 (2016), hlm.259-272
Mosiba, Risna, ‘MASA DEPAN HADIS DAN ILMU HADIS’, Article, Volume V, (2016), 316–31
Nuryansah, Mohamad, ‘Aplikasi Hermeneutika Nashr Ha m > Id Abu > Zaid Terhadap Hadits Nabi’, Millatī, Vol.1 (2016), hlm.259-278 <https://doi.org/10.18326/millati.v1i1.259-278>
Rusli, Muhammad, and Nazar Husain Hpw, ‘Problematika Dan Solusi Masa Depan Hadis Dan Ulumul Hadis’, Al-FIKR, Vol.17 (2013), hlm.123-138
Sunusi, :, ‘Sunusi Masa Depan Hadis & Ulum Hadis MASA DEPAN HADIS DAN ULUM HADIS Oleh: Sunusi’, Al Hikmah, Vol.XIV (2013), 55–70





[1]Sunusi, “Sunusi Masa Depan Hadis & Ulum Hadis MASA DEPAN HADIS DAN ULUM HADIS Oleh: Sunusi,” Al Hikmah Vol.XIV, No..2 (2013):hlm. 55–70.
[2]Risna Mosiba, ‘MASA DEPAN HADIS DAN ILMU HADIS’, Article, Volume V,.Nomor 2 (2016), hlm.316–31.
[3]Maizuddin, ‘Potret Studi Hadist Di Wilayah Syariat’, Substantia, Vol.20.No.2 (2018), hlm.171-184.
[4]Agusman Damanik, ‘URGENSI STUDI HADIS DI UIN SUMATERA UTARA’, Kewahyuan Islam, Vol.2.No.1 (2017),hlm. 83–94.
[5]Moh. Ali, ‘REAKTUALISASI NILAI-NILAI ISLAM KLASIK DI ERA GLOBAL’, Istiqra, Vol.5.No.2 (2017), hlm.209-230.
[6]Luthfi Maulana, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS ( Dari Tradisi Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital )’, ESENSIA, Vol.17.No.1 (2016), hlm.111-123.
[7]Mohamad Nuryansah, ‘Aplikasi Hermeneutika Nashr HamId Abu Zaid Terhadap Hadis Nabi’, Millatī, Vol.1.No.2 (2016), hlm.259-278 <https://doi.org/10.18326/millati.v1i1.259-278>.
[8]Moh. Muhtador, ‘SEJARAH PERKEMBANGAN METODE DAN PENDEKATAN SYARAH HADIS’, Studi Hadis, Vol.2.No.2 (2016), hlm.259-272.
[9]Muhammad Rusli and Nazar Husain Hpw, ‘Problematika Dan Solusi Masa Depan Hadis Dan Ulumul Hadis’, Al-FIKR, Vol.17.No. 1 (2013), hlm.123-138.
[10]Benny Afwadzi, ‘HADIS DI MATA PARA PEMIKIR MODERN ( Telaah Buku Rethinking Karya Daniel Brown )’, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis, Vol.15.No.2 (2014), hlm.227-242.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ILMU AL- JARH WA TA’DIL: PENGERETIAN, OBJEK DAN LAFAZ LAFAZ SERTA MARATIB AL- JARH WA TA’DIL