Ulumul Hadis, Sejarah Perkembangannya: Pengertian, Sejarah Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadis pada Periode Klasik, Pertengahan dan Modern
Nama : Zul'Afni Batubara
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Motto : Usahan Tidak Akan Menghiyanati Hasil
Hobby : Olahraga,
E_mail : zulafni_24
Ulumul Hadis, Sejarah Perkembangannya: Pengertian,
Sejarah Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadis pada Periode Klasik, Pertengahan
dan Modern
Pendahuluan
Hadis merupakan sumber hukum islam yang didalamnya
terdapat banyak ilmu pengetahuan yang bersumber dari Rasulullah SAW yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hadis juga banyak diteliti oleh para
ulama-ulama dan menetapkan suatu hokum dari hadis tersebut. Oleh karena itu
untuk meneliti hadis dibutuhkan disiplin ilmu yang tinggi. Hadis juga diajarkan
di sekolah-sekolah untuk meningkatkan kualitas keimanan seseorang sejak zaman
Nabi hingga sekarang semua ilmu pengetahuan
yang termuat didalamnya dusatukan dengan nama ulumul hadis. Untuk itu
pada makalah ini saya akan menjelaskan tentang ulumul hadis dan sejarah
perkembangannya.
Hadis
memiliki posisi yang penting dalam Islam. Hadis bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri
sendiri, tapi juga sebagai sumber informasi yang sangat berharga untuk memahami wahyu Allah. Ia juga sebagai sumber sejarah masa
awal Islam. Olehnya itu, pengkajian akan hadis merupakan sesuatu yang urgen bagi umat Islam. Hadis sampai hari ini masih menyisakan
berbagai problem yang harus dicarikan solusinya. Di antara problem yang mucul adalah aspek
historis, otoritas, otentisitas, interpretasi, metodologi, menjawab tantangan zaman dengan ribuan problemnya dan lain sebagainya.
Imbas dari problem tersebut melahirkan stigma bahwa hadis dilingkupi berbagai problem sehingga
tidak sedikit umat Islam yang kemudian meragukan bahkan menolak hadis
sebagai sumber pengambilan hukum (inkar al-sunnah), atau mengkambinghitamkan hadis sebagai penyebab mundurnya umat Islam. Setidaknya dari problem tersebut muncul beberapa pertanyaan, antara
lain: Apakah sesungguhnya hadis itu? Benarkah hadis itu adalah ucapan verbal nabi dan
tingkah laku nabi atau persepsi masyarakat Islam tentang nabi? Apakah buku hadis yang kita warisi dari abad ketiga seperti Sahih Bukhari dan Muslim,
merupakan refleksi sunnah nabi? Apakah metodologi yang digunakan oleh Bukhari dan
Muslim dan para mukharrij yang lain untuk menyeleksi hadis nabi sudah cukup akurat sehingga semua hadis yang terdapat di dalamnya dianggap sahih
sehingga kritik sejarahtidak perlu lagi dilakukan? Bagaimana dengan akurasi metode
kritik hadis? Mampukah hadis menjadi solusi
bagi problem masyarakat modern? Atau masihkah hadis dibutuhkan di era modern ini?
A.
Pengertian
Ulumul Hadis
Secara terminologi, ulama Hadis mendefenisikan sebagai
segala perkataan, perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada Nabi saw baik sebelum
atau sesudah diutusnya.Sedangkan ulama usul membatasi sebagai ucapan, perbuatan
atau penetapan (taqrir) yang dinisbatkan kepada Nabi saw yang berkaitan
dengan segala hukum syara’. Bila melihat sisi perbedaan antara pendefenisian
ulama Hadis dan usul tersebut, tampaknya ulama usul menitik beratkan obyek
hukum dari Hadis itu yakni berkaitan dengan hukum syara’ tanpa melihat latar
belakang dan keterkaitan status kenabian Muhammad saw. sementara ulama Hadis
melihat pengertian terminologi Hadis dalam peran Rasulullah saw, baik sebelum
atau sesudah diutusnya. Ulum merupakan bentuk jamak dari ilm yang secara etimologi berarti mengetahui
sesuatu sampai hakikatnya. Dengan begitu, maka Ulum al Hadis (ilmu-ilmu Hadis)
memiliki substansi dan esensi. Substansinya adalah Ilmu Hadis Dirayah dan Ilmu
Hadis Riwayah, yang dari keduanya memunculkan cabang-cabang ilmu yang
membicarakan Hadis dan sumbernya. Sehingga, esensinya adalah segala yang
berhubungan dengan pribadi Nabi saw.[1]
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa ulum hadis adalah ilmu-ilmu yang mempelajari
semua perbuatan,perkataan ,dan sifat Nabi. bahwa ulum hadis berfungsi untuk
memperjelas hadis-hadis Nabi dan ulum hadis tidak diragukan kebenarannya karena
dapat dipertanggungjawabkan.bahwa para ulama
hanya memahami hadis berdasarkan isinya saja tanpa menggunakan metode yang
lain.
B. Sejarah
Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadis
1.
Paradigma Kajian Hadis
Kajian Hadis tidak tervatas kepada kajian Riwayat
dan Dirayat saja, akan tetapi sudah memasuki aspek kesejarahan, pemahaman dan
kajian Hadis sarjana barat. Kebangkitan studi Hadis disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya respon terhadap gugatan orientalis terhadap Hadis,
terbebasnya negara-negara muslim dari belenggu kolonialis, munculnya paham salafi-takfiri,
dan berkembangnya ilmu pengetahuan, sosial dan budaya masyarakat modern. Para
pengkaji Hadis kontemporer lebih terfokus kepada kajian matan Hadis dan
pemahamannya. Kajian Sharah Hadis dengan pendekatan hermenetik menjadi sebuah
metode yang tren di indonesia seiring berkembangnya filsafat, sosial dan
kebahasaan. Semangat kembali kepada Alquran dan Sunnah harus diimbangi dengan
kerangka berpikir yang sistematis dalam memahami Hadis nabi.
2.
Perbedaan Metodologi
Kajian Hadis; sarjana barat dan timur tengah
Kajian pensharahan Hadis ditimur tengah terpola
dengan empat pola; Tahlili, Ijmali, Maudu’i dan Muqaran. Kajian
pemahaman Hadis yang bersifat tekstual-normatif, banyak dipengaruhi oleh madhab
kebahasaan kufah-Basrah dimasa klasik. Kajian Hadis diindonesia masih menjadi
bagian pembelajaran Quran dan Fikih. Sebelum abad ke-19 kajian Hadis lebih
menekankan kepada aspek sanad dan pengumpulan Hadis. Pada abad ke-20, penulisan lebih
dengan tujuan pembelajaran ilmu Hadis sebagai pengantar disekolah dan perguruan tinggi,
sedangkan pada abad 21 sampai sekarang lebih fokus kepada berbagai pendekatan
dalam memahami Hadis Nabi.[2]
Ada perkembangan studi hadis di antaranya memang tidak
sengaja, karena pelaksanaan syariat Islam ini memunculkan wacana-wacana baik
itu muncul karena wacana yang berkaitan dengan politik, maupun wacana yang
muncul karena akademik. Pada tahun 2015 kita ribut dengan shalat Jum’at yang harus
pakai tongkat, keharusan adanya muwalah. Itu otomatis memunculkan kajian
hadist. Muncullah kajian hadis-hadis tentang tongkat, dan hadis-hadis lain
tentang Jum’at itu. Sebelum pelaksanaan syariat Islam itu ada tetapi cenderung
tidak dikaji secara akademik. Termasuk ketika bicara tentang qanun-qanun
tentang khalwat, qadzaf, saksi zina, itu kan penuh dengan kajian-kajian
tentang Alquran dan hadis. Jadi ada pengaruh dari pemberlakuan syariat Islam. Dari
pernyataan informan di atas, tampak bahwa penerapan syariat Islam secara tidak
langsung juga meningkatkan pembahasan tentang hadis. Hal ini terutama ketika
munculnya gesekan tentang syariat Islam mazhab mana yang ingin diterapkan di
Aceh. Tetapi, kecenderungan pembahasan hadis dalam kaitan ini tentu saja ingin
melihat sejauh mana pendapat mazhab tersebut harus diaplikasikan atau sejauh
mana pula pendapat mazhab ini tidak harus diaplikasikan dalam syariat zaman
modern.[3]
Berbeda dengan Alquran, keotentikan hadis seringkali
dipersoalkan. Sejumlah kritikan ditujukan kepada hadis dan bahkan ada yang
menolaknya. Kendatipun telah sekian lama melengkapi sumber ajaran Islam
(Alquran), hadis sekiranya masih perlu diuji keabsahan dan validitasnya. Satu
diantara beberapa penyebabnya adalah selainDengan statusnya sebagai sumber
kedua dari ajaran Islam, tentunya hadis yang dimaksud bukanlah hadis
sembarangan, yaitu hadis yang kadar sanad dan matan-nya tidak jelas dan tidak
memiliki sandaran yang kuat. Untuk mengukur ke-dhabitan (kevalidan) hadis,
biasanya dikalangan akademis lebih memilih istilah kritik hadis, yaitu sebuah
upaya untuk menilai dan menimbang hadis dari berbagai sisi, baik dari segi
sanad maupun matan-nya yang memungkinkan diterimanya keabsahan dan ke- dhabitan
hadis tersebut. Kritik matan dan terutama sanad ini terus berlangsung pada
generasi-generasi sesudah sahabat, sampai terbentuknya buku-buku yang
menceritakan (mencaci atau memuji) para perawi (sanad) hadis. Walaupun banyak
ketimpangan (tidak seimbangnya antara kritik sanad dan matan) pada masa itu,
namun perkembangan studi hadis hari ini menselaraskan antara kritik sanad dan
matan. Menurut Muhammad al-Ghazali, ulama telah sepakat menempatkan Alquran sebagai
sumber hukum dan perundang-undangan Islam, sementara hadis sebagai
implementasinya. Oleh karena itu Alquran haruslah dijadikan sebagai ukuran
kesahihan suatu hadis. Hadis yang sejalan dengan Alquran dapatlah dinyatakan
sebagai hadis sahih dan hadis yang tidak sejalan dengan Alquran haruslan
ditinggalkan. [4]
C.
Sejarah
Perkembangan Ulumul Hadis pada Periode Klasik
Perkembangan Islam pada periode Klasik dimulai dari masa
Rasulullah hingga jatuhnya pemerintahan Bani Abbas di Baghdad. Periode ini
ditandai dengan upaya perintisan perkembangan dan kemajuan puncak yang pertama
peradaban Islam (650-1000 M). Berikutnya masa disintegrasi (1000-1250 M).
Periode klasik ini diwakili oleh kekhalifahan Nabi Muhammad di Haramain (Makkah
dan Madinah), Khulafa‟ al- Rasyidin di Madinah, Dinasti Bani Umayyah di
Damaskus, dan kemudian Dinasti Bani Abbas di Baghdad. Pada periode ini, masa
dan prestasinya lebih banyak dari pada periode-periode yang lain. Pada periode
klasik (650-1250 M), Islam mengalami dua fase penting : Fase ekspansi,
integrasi dan puncak kemajuan (650-1000M).Di fase inilah Islam di bawah
kepemimpinan para khalifah mengalami perluasan pengaruh yang sangat signifikan,
kearah barat melalui Afrika Utara Islam mencapai Spanyol dan ke arah timur
melalui Persia Islam sampai ke India.[5]
Khazanah studi hadis pada masa prakontemporer, mulai
merambah pada sebuah disiplin ilmu yang mapan. Berkembangnya studi hadis pada
masa ini disebabkan dengan munculnya beragam disiplin-disiplin keilmuan baru
yang bersinggungan dengan budaya serta bangsa lain yang telah mendorong upaya
pembukuan masing-masing disiplin ilmu itu sendiri. Dari sini setidaknya dapat
diketahui bahwa pada masa ini terdapat dua pembagian dalam ilmu hadis, yaitu
ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah. Dalam prakteknya ilmu hadis riwayah
fokus pada proses transmisi hadis, pemeliharaan dalam hafalan, serta Bukti
nyata berkembanya khazanah studi hadis pada masa ini juga nampaknya dibuktikan
dengan geliat para ulama dalam melirik kembali kajian Hadits, Hal ini di tandai
pada abad 17 M. Para ulama indonesia yang ber-notabenya berasal dari pesantren
banyak yang mulai terpikat berangkat ke daerah Timur Tengah terutama kawasan
Mekkah dan Madinah untuk belajar Hadis Nabi dari ulama- ulama Haramayn.[6]
Pembedaan hadis antara yang ahad dan mutawatir belum
muncul pada masa Rasulullah dan para sahabat. Para sahabat menerima hadis dari
seseorang yang meriwayatkan kepada mereka setelah jelas status dan kredibilitas
penyampainya. Pembedaan tersebut baru muncul pada masa tabi’in dan sesudahnya.
Menurut Ibn Hazm (w. 456 H), sesungguhnyaMenurut Mu’tazilah, hadis ahad tidak
bisa dikategorikan sebagai Sunnah, kecuali dalam sebuah konteks pengenalan dan
tentunya setelah diketahui relevansinya dengan logika. Oleh sebab itu, menurut
logika tidak bisa disebutkan misalnya, ”Rasulullah bersabda”, namun harus
disebutkan, ”Diriwayatkan dari Nabi”. Akibat dari semua itu adalah bahwa kaum
Mu’tazilah menolak banyak sekali persoalan akidah yang bersumber dari hadis
ahad, seperti tentang siksa kubur, mengimani adanya telaga Nabi saw, adanya al-sirat,
al-mizan (timbangan untuk amal perbuatan), shafa’at, dan masalah
melihat Allah di akhirat. Mereka juga menolak banyak hukum-hukum syariat yang
sah dengan alasan bertentangan dengan logika dan kontradiktif dengan Al-Qur’an,
atau berlawanan dengan hadis-hadis lain. Itulah beberapa contoh penyimpangan
Mu’tazilah yang diesbutkan oleh Ibn Qutaibah (w. 276 H) yang dikutif olehAbd
al-Qahir al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq bayna al-Firaq.[7]
D. Sejarah Perkembangan Ulumul Hadis pada Periode
Pertengahan
Masa Perkembangan ilmu pengetahuan yang ditandai dengan modernisasi dan
globalisasi mempunyai pengaruh atas berkembangan keilmuan Islam, termasuk
kajian syarah hadis. Sejarah mencatat bahwa perkembangan syarah hadis
mengamlami perubahan dari masa ke masa, hal tersebut disebabkan banyak faktor
yang mempengaruhi termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan sosial-keagamaan.
Seperti halnya yang dijelaskan dalam teori sosial pengetahuan (sociology of
knowledge) bahwa sebuah pengetahuan dan pemikiran dibangun dan dipengaruhi
masyarakat, teori sosiologi pengetahuan mengakui adanya pengaruh nilai- nilai
sosial terhadap persepsi seseorang tentang realitas Singkatnya, seseorang dipengaruhi oleh
khalayaknya, atau khalayak itu dipengaruhi oleh seseorang. Oleh sebab itu,
kaitannya dengan kajian syarah pada masa modern ialah perubahan paradigma yang
terdapat dalam kajian syarah hadis akhir-akhir ini tidak lepas dari pengaruh
nilai sosial masyakat yang berkembang. Dengan bahasa yang lebih mudah ialah
kontek sosial mempengaruhi paradigma keilmuan. Kajian syarah hadis sebagai
salah satu keilmuan Islam yang berperan dalam menuntun umat Islam dalam
memahami sumber agama harus dilihat sebagai realitas sosial-religios, karena
perubahan sosial dan ilmu pengetahuan menyebabkan perubahan paradigma keilmuan
syarah. Beberapa contoh di atas terkait syarah pada masa awal sebagai
percontoh, namun tidak umat Islam pada masa modern tidak harus menjadikan
peristiwa tersebut sebagai ajaran yang harus diikuti secara total, karena
konteks sosial dan peradaban yang jauh berbeda. Dengan demikian, ada beberapa
metode dan pendekatan yang dapat diidentifikasi.[8]
Aspek otentisitas hadis atau keaslian literatur hadis
menjadi elemen yang paling rawan dari teori hadis klasik dan menjadi fokus
utama dalam kebanyakan diskusi tentang masalah hadis, baik di era pertengahan
maupun modern.Pembahasan ini muncul dan berkembang karena sesuai dengan
pendapat yang dominan di kalangan ulama hadis bahwa terdapat interval waktu
yang cukup jauh antara wafatnya Nabi saw sebagai sumber primer hadis dengan
kodifikasi hadis secara resmi dan massal. Salah satu eksesnya baik secara
langsung atau tidak langsung adalah adanya pemalsuan hadis. Bila dibayangkan
bahwa perjalanan hadis hingga sampai kepada kita, tentunya telah melewati fase
yang tidak selalu mulus dan murni, bukan saja dari rangkaian sanad-nya tetapi
juga materi hadis itu sendiri. Hadis-hadis Nabi tersebut, sampai pada masa
pembukuannya secara resmi pada zaman Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99 H, masih
bercampur dengan kata-kata atau fatwa sahabat. Hal ini menyebabkan jumlah
materi yang dianggap hadis menjadi menggelembung seperti “gendang”, dari awal
sedikit, menjadi banyak (pada tengahnya) dan pada akhirnya-setelah seleksi-
menjadi sedikit lagi. Kitab sunan Imam Malik (92-179 H/ 12-798 M),
al-Muwaththa’ yang merupakan kitab kumpulan atau koleksi hadis paling tua
(disusun pada pertengahan awal abad ke II H.) tidak hanya memuat hadis Nabi
saja tetapi juga fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Dengan demikian otentisitas
hadis tidak luput dari kritikan, olehnya itu menjadi tantangan hadis dan ulumul
hadis untuk senantiasa diadakan pembaruan guna otentisitas hadis di era
mendatang.[9]
E.
Sejarah
Perkembangan Ulumul Hadis pada Periode Modern
Hadis di mata mayoritas orang Islam dipandang sebagai
salahsatu sumber pengetahuan keagamaan yang penting dan dipahami sebagai sumber
normatif kedua setelah Alquran. Dalam rangka menjelaskan urgensitas ini,
terdapat sebuah adagium terkenal, yaitu Alquran lebih membutuhkan hadis daripada
hadis yang membutuhkan Alquran”. Maknanya, Alquran tidak dapat ditafsirkan
jikalau tidak dibarengi dengan hadis. Namun, hal tersebut tidak berlaku pada
hadis, atau dengan kata lain, hadis dapat menjelaskan dirinya sendiri. Dalam Dalam
sebuah riwayat al-Darimi diinformasikan, Yahya bin Abi Katsir, seorang tabi’in
kecil berkata “al-Sunnah qadhiyatun ‘ala Alquran wa laisa Alquran biqadhin
‘ala al-Sunnah”, yang artinya sunnah menjadi hakim atas Alquran, tetapi
Alquran tidaklah dapat menghakimi atas sunnah. Hal ini melukiskan betapa sunnah
mempunyai posisi penting dan kekuatan yang superior dalam tradisi keislaman
sejak era klasik berdasarkan prinsip Alquran, yang tercermin dalam sanggahan
Aisyah pada riwayat bahwa orang yang meninggal menderita karena ratapan
keluarganya. Riwayat tersebut kontradiksi dengan statemen Alquran yang berkata,
seseorang tidak akan memikul dosa orang lain (al-An’am: 164; al-Isra: 15;
Fatir: 18; al-Zumar: 7; dan al-Najm: 38). Begitu pula ketika Aisyah menuduh dusta
pada orang yang menuturkan riwayat yang melukiskan Tuhan turun memberikan wahyu
pada Nabi Muhammad langsung. Aisyah lantas mengutip ayat Alquran yang
menyatakan bahwa Tuhan hanya berbicara lewat medium wahyu atau di belakang
tabir (al-Syura: 51).[10]
KESIMPULAN
Ulumul hadis secara Bahasa terdiri dari dukata
yaitu ulum dan hadis yang berarti ilmu yang mempelajari semua perkataan,
perbuatan, dan sifat nabi.
Hadis pada periode klasik ini terjadi pada masa
Nabi Muhammad SAW dimana hadis diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat
menghafal hadis tersebut.
Pada masa pertengahan disebut masa kematangan
hadis karena dituliskan macam-macam cabang ulum hadis. ulum Hadis pada masa
modern tidak terlalu banyak mengalami perkembagan karena ulama hamya
menertibkan kitab-kitab saja.
Daftar Pustaka
Afwadzi, Benny, ‘HADIS
DI MATA PARA PEMIKIR MODERN ( Telaah Buku Rethinking Karya Daniel Brown )’, Jurnal
Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis, Vol.15 (2014), hlm.227-242
Ali, Moh., ‘REAKTUALISASI NILAI-NILAI ISLAM KLASIK DI ERA
GLOBAL’, Istiqra, Vol.5 (2017), hlm.209-230
Damanik, Agusman, ‘URGENSI STUDI HADIS DI UIN SUMATERA
UTARA’, Kewahyuan Islam, Vol.2 (2017), 83–94
Maizuddin, ‘Potret Studi Hadist Di Wilayah Syariat’, Substantia,
Vol.20 (2018), hlm.171-184
Maulana, Luthfi, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS (
Dari Tradisi Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital )’, ESENSIA, Vol.17
(2016), hlm.111-123
Moh. Muhtador, ‘SEJARAH PERKEMBANGAN METODE DAN PENDEKATAN
SYARAH HADIS’, Studi Hadis, Vol.2 (2016), hlm.259-272
Mosiba, Risna, ‘MASA DEPAN HADIS DAN ILMU HADIS’, Article,
Volume V, (2016), 316–31
Nuryansah, Mohamad, ‘Aplikasi Hermeneutika Nashr Ha m > Id
Abu > Zaid Terhadap Hadits Nabi’, Millatī, Vol.1 (2016), hlm.259-278
<https://doi.org/10.18326/millati.v1i1.259-278>
Rusli, Muhammad, and Nazar Husain Hpw, ‘Problematika Dan
Solusi Masa Depan Hadis Dan Ulumul Hadis’, Al-FIKR, Vol.17 (2013),
hlm.123-138
Sunusi, :, ‘Sunusi Masa Depan Hadis & Ulum Hadis MASA
DEPAN HADIS DAN ULUM HADIS Oleh: Sunusi’, Al Hikmah, Vol.XIV (2013),
55–70
[1]Sunusi, “Sunusi Masa Depan Hadis & Ulum Hadis MASA
DEPAN HADIS DAN ULUM HADIS Oleh: Sunusi,” Al Hikmah Vol.XIV, No..2 (2013):hlm.
55–70.
[3]Maizuddin, ‘Potret Studi Hadist Di Wilayah Syariat’, Substantia, Vol.20.No.2 (2018),
hlm.171-184.
[4]Agusman Damanik, ‘URGENSI STUDI HADIS DI UIN SUMATERA
UTARA’, Kewahyuan Islam, Vol.2.No.1
(2017),hlm. 83–94.
[5]Moh. Ali, ‘REAKTUALISASI NILAI-NILAI ISLAM KLASIK DI
ERA GLOBAL’, Istiqra, Vol.5.No.2
(2017), hlm.209-230.
[6]Luthfi Maulana, ‘PERIODESASI PERKEMBANGAN STUDI HADITS
( Dari Tradisi Lisan / Tulisan Hingga Berbasis Digital )’, ESENSIA, Vol.17.No.1 (2016), hlm.111-123.
[7]Mohamad Nuryansah, ‘Aplikasi Hermeneutika Nashr HamId
Abu Zaid Terhadap Hadis Nabi’, Millatī,
Vol.1.No.2 (2016), hlm.259-278
<https://doi.org/10.18326/millati.v1i1.259-278>.
[8]Moh. Muhtador, ‘SEJARAH PERKEMBANGAN METODE DAN
PENDEKATAN SYARAH HADIS’, Studi Hadis,
Vol.2.No.2 (2016), hlm.259-272.
[9]Muhammad Rusli and Nazar Husain Hpw, ‘Problematika Dan
Solusi Masa Depan Hadis Dan Ulumul Hadis’, Al-FIKR,
Vol.17.No. 1 (2013), hlm.123-138.
[10]Benny Afwadzi, ‘HADIS DI MATA PARA PEMIKIR MODERN (
Telaah Buku Rethinking Karya Daniel Brown )’, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis, Vol.15.No.2 (2014),
hlm.227-242.
Komentar
Posting Komentar